Liputan6.com, Yogyakarta - Meski bekerja sebagai buruh cuci, tidak terlihat wajah susah dari Ibu Yuniati. Dengan penampilan ala kadarnya, perempuan yang lahir 6 Juni 1966 ini menemui setiap tamu yang datang ke rumahnya.
Yuniati tinggal di sebuah rumah seluas 120 meter persegi, di Pandan Kulon RT 07 RW 12 Imogiri, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sehari-hari ibu dua anak ini bekerja sebagai tukang cuci. Pekerjaan ini telah digelutinya sejak 1985. Kini Yuniati tidak hanya menjadi buruh cuci, tapi juga menyetrika dan mengasuh anak orang lain.
"Dulu nyuci di Bintara nyuciin baju anak kos. Sekarang buruh nyuci sama momong Putu dan ponakan. Jadi, kasarane pembantune (kasarnya pembantu) mas kandung. Mencuci setelah nikah, suami ngga ada pekerjaan. Prinsipnya saya cuma satu, ngga punya utang," ujar istri Pebdi Nuryanto saat ditemui di sekitar rumahnya, Jumat (10/9/2015).
Menurut Yuniati, penghasilannya sebagai buruh cuci tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan makan, tapi juga biaya sekolah anak-anaknya, Satya Chandra Wibawa Sakti (29 ) dan Oktaviana Ratna Cahyani (27). "Saya ngga pingin kaya, ngga pingin hidup mewah, anak harus sekolah," lanjut dia.
Di balik kehidupannya yang memprihatinkan, siapa sangka Yuniati ternyata mampu membawa anaknya sekolah hingga ke jenjang S3 di Hokaido, Jepang.
Anak sulungnya yakni Satya Chandra Wibawa, saat ini sedang menyelesaikan gelar S3 di Hokaido. Sebelumnya, gelar S2 telah digondol sang anak dari Universitas Gadjah Mada dan S1 di Universitas Negeri Yogyakarta.
Menurut Yuniati, anaknya sejak kuliah S1 hingga S3 selalu di bidang kimia. Tentu seluruh biaya kuliah di dapat dari beasiswa. Sakti termasuk anak yang pintar dan selalu rangking satu di kelasnya. Sehingga untuk biaya sekolah dan kuliah, Yuniati merasa tertolong dengan beasiswa.
Yuniati mengaku, hanya membayar uang kuliah Sakti saat masuk kuliah dan semester pertama saja. Saat itu biaya masuk kuliah mencapai Rp 4 juta, ditambah biaya per semester Rp 700 ribu. Namun, kerja keras dan kecerdasannya membuat Sakti selalu berprestasi. Saat kuliah, Sakti selalu memiliki Indeks Prestasi mencapai 3,9.
"Sakti itu masuk kuliah tahun 2004, UNY jurusan kimia. Lalu S2 UGM kimia juga, dan S3 Hokaido Jepang juga kimia. Semua beasiswa," ucap Yuniati.
Dicibir Tetangga
Advertisement
Sebagai ibu yang hanya menjadi tukang cuci, tentu sulit untuk menyekolahkan anak hingga kuliah apalagi sampai S3. Ia pun pernah mendapat cibiran warga tentang niatnya menguliahkan sang anak. Namun, niat ikhlas untuk menyekolahkan anaknya mendapat kemudahan dari Tuhan melalui program beasiswa.
"Mau masuk S1 Sakti nangis karena ada yang bilang, mbokne ae golek utangan anake mau kuliah (ibunya saja cari utangan anaknya mau kuliah). Lalu saya bilang, ngene le rezeki urip pati bukan dwe mereka, tapi punyanya Gusti Allah sing penting niat (begini nak, rezeki, hidup dan mati itu milik Allah yang penting niat)," ujar Yuniati mengisahkan kesusahannya saat sang anak mau kuliah.
Niat kuat Yuniati untuk menyekolahkan anak-anaknya, membuat dia harus banting tulang. Dia pun lebih mendahulukan kepentingan pendidikan anak-anaknya ketimbang kebutuhan yang lain.
"Gempa 2006 dapat bantuan Rp 15 juta tidak digunakan untuk bangun rumah. Untuk biaya kuliah adiknya. Saya tidur di terpal sing penting anak saya masuk kuliah," ujar Yuniati.
Kini, kerja keras dan tekad kuatnya membuahkan hasil. Kedua anaknya dapat merasakan bangku kuliah. Anak bungsunya berhasil kuliah di Akper Bethesda Yogyakarta. (Sun/Mut)