Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha meminta pemerintah menghentikan sementara pungutan ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dan produk penurunannya.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Suryani SF Motik mengatakan dalam kondisi ekonomi seperti ini, seharusnya pemerintah menghentikan pungutan yang dijalankan oleh Badan Pengelolaan Dana Perkebunan (BPDP) Sawit.
Advertisement
"Seharusnya pajak-pajak itu dihilangkan misalnya pajak (pungutan) sawit, ada yang harus setoran US$ 50 per ton (untuk produk CPO murni). Hari ini, badan tersebut seharusnya tidak perlu bergerak," ujar Suryani di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (12/9/2015).
Dia mengatakan dengan kondisi harga dunia atas komoditas CPO tengah menurun, seharusnya pemerintah merespons dengan menghentikan sementara pungutan tersebut. "Sekarang harganya lagi jatuh dan pasar kita juga masih pasar tradisional, pasarnya yang itu-itu saja. Tidak ada pasar ke negara lain," lanjutnya.
Suryani memahami pungutan tersebut memiliki tujuan yang baik, yaitu salah satunya untuk mendanai peremajaan terhadap perkebunan kelapa sawit rakyat, namun hal tersebut dianggap tidak cocok jika tetap diterapkan pada saat ini.
"Kita jangan bicara replanting, itu masih 5 tahun-10 tahun lagi. Kalau pungutan tetap dilakukan, industri yang akan mati. Saya bukannya tidak setuju dengan pungutan ini, tapi itu bisa dilakukan nanti," kata Suryani.
Pemerintah secara resmi telah membentuk Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Badan ini mengumpulkan dan menyalurkan dana yang diatrik dari para pelaku usaha atau eksportir dalam program Pengembangan Kelapa Sawit atau Crude Palm Oil (CPO) supporting fund.
Pungutan ekspor minyak kelapa sawit sebesar US$ 50 per ton untuk produk crude palm oil (CPO) mentah dan US$ 30 per ton untuk produk CPO olahan. Dana itu untuk mensubsidi bio diesel dan pengembangan industri kelapa sawit. (Dny/Ahm)