Liputan6.com, Riau - Kabut asap seakan menjadi peristiwa tahunan yang tak kunjung selesai. Dari pantauan satelit Terra dan Aqua, ada 1.900 titik panas berada di Pulau Sumatera dan Kalimantan.
Di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah masing-masing ada 500 titik dan di Pulau Sumatera yang paling parah berada di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi dan Kabupaten Siak juga Kota Pekanbaru Riau. Lahan gambut yang terbakar pun tak mudah dipadamkan.
Advertisement
Akibatnya, Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) masuk dalam kondisi berbahaya yang mengancam kesehatan warga di sejumlah provinsi tersebut. Kasus Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) semakin meningkat. Data sementara menyebutkan di selatan Kalimantan saja lebih dari 40.000 orang terkena ISPA.
Penderita ISPA didominasi oleh anak-anak. Kegiatan belajar mengajar pun terhambat karena sekolah mereka diliburkan.
Asap juga memukul produktivitas usaha, transportasi, barang, dan jasa lewat darat, laut, dan udara terhambat. LSM Walhi memperkirakan hingga September ini saja Provinsi Jambi sudah merugi Rp 7 triliun. Sepanjang kabut asap tahun 2014 lalu, Pemerintah Provinsi Riau mengklaim kerugian hingga Rp 10 triliun.
Tutupnya Bandara Sultan Thaha Jambi menjadi gambaran jelas bagaimana asap melumpuhkan mobilisasi warga. Jarak pandang yang terbatas tak aman bagi pesawat untuk mendarat dan tinggal landas.
Di Pontianak, Kalimantan Barat, di tengah kabut asap dengan jarak pandang antara 400 hinggga 600 meter, beberapa pesawat memberanikan diri mendarat.
Pembakaran lahan dan hutan tercatat mulai terjadi 1994 lalu di Jambi. Pembukaan lahan untuk perkebunan dan pengelolaan hutan industri, baik yang dikelola masyarakat maupun korporasi dituding sebagai penyebab maraknya pembakaran hutan.
Membakar hutan menjadi jalan pintas termurah membersihkan lahan sebelum ditanami. Namun dampaknya merugikan kelestarian alam sekaligus keselamatan manusia di sekitarnya.
Tetapi kejadian terus berulang setiap tahun. Entah kesadaran masyarakat dan pengusaha yang kurang atau justru ada mafia hutan yang kebal terhadap sanksi, yang jelas Menteri Lingkungan Hidup mengancam akan mencabut izin 10 perusahaan yang terindikasi terlibat dalam pembakaran hutan dan lahan.
Dan kini, tak hanya perkebunan yang dibuka dengan membakar hutan, pertengahan minggu ini di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, sejumlah orang tertangkap tangan membakar hutan untuk membuka lahan perumahan.
Mereka mengaku dibayar Rp 100 ribu oleh pengembang. Jumlah yang tak seberapa dibandingkan dengan ancaman sanksi yang mereka hadapi karena melanggar pasal 187 KUHP dan Pergub Nomor 5 Tahun 2003 tentang larangan pembukaan lahan dengan ancaman 6 bulan kurungan dan denda Rp 60 juta.
Warga pun sangat tidak nyaman dengan adanya kabut asap. Selain itu juga, akibat kabut asap saat ini sudah mulai menimbulkan beragam penyakit. Bahkan anak-anak terkena dampak, kegiatan sekolah mereka terganggu.
"Membuat pening kepala, sakit hidung, pernafasan susah, dan bahkan dampaknya yang luar biasa juga sekarang kan banyak yang kena ISPA dan anak-anak diliburkan," ucap salah seorang warga.
Warga merasa pemerintah menjadi salah satu yang bertanggungjawab dari kabut asap yang ada. Meski begitu, warga juga tak menampik adanya kesalahan masyarakat yang membakar hutan sembarangan
"Yang bertanggungjawab itu salah satunya pemerintah. Untuk penyebabnya bisa dikatakan masyarakat atau pihak perkebunan-perkebunan yang membakar lahan dengan sembarangan," ujar seorang warga.
Saksikan rangkuman Kopi Pagi (Komentar Pilihan Liputan 6 Pagi) selengkapnya yang ditayangkan Liputan 6 Pagi SCTV, Minggu (14/9/2015), di bawah ini. (Vra)