Liputan6.com, Jakarta Lama tenggelam dari belantika sepak bola Tanah Air, PSMS Medan akhirnya muncul ke permukaan. Tim berjuluk Ayam Kinantan itu menunjukkan tajinya usai merebut gelar juara di Piala Kemerdekaan yang digagas Tim Transisi Menpora.
Final turnamen yang diikuti tim-tim Divisi Utama ini digelar di Gelora Bung Tomo, Surabaya. Meski tampil di "Tanah Rantau" toh anak-anak Medan tidak gentar dan tampil cukup tenang sepanjang pertandingan.
Menghadapi Persinga Ngawi, Legimin Raharjo Cs sebenarnya sempat tertinggal menit ke-26 lewat gol Jefri Kurniawan. Perjuangan Ayam Kinantan kian berat setelah wasit mengusir Asrul Rohundua menit ke-38 akibat 2 kartu kuning.
Namun dengan 10 pemain PSMS justru tampil lebih terorganisir. Ayam Kinantan bahkan menyamakan kedudukan lewat gol Aldino Herdianto pada menit ke-61 memanfaatkan tendangan bebas pemain lawas Ayam Kinantan Legimin Raharjo.
Permainan kembali berlangsung semakin ketat. Namun Legimin tampil sebagai pahlawan PSMS usai mencetak gol pada pada menit ke-91. Pemain 34 tahun itu merobek jala Persinga dan mengubah kedudukan menjadi 2-1 untuk PSMS.
Kemenangan ini seakan membangkitkan kembali memori kebesaran PSMS. Di era perserikatan tim asal Kota Medan itu sempat menjadi momok bagi lawan-lawannya. Sepak bola "rap-rap" khas anak Medan plus dukungan fanatik suporternya membuat tim berjuluk Ayam Kinantan disegani tidak hanya di dalam negeri tapi oleh tim-tim manca negara.
Era Keemasan
Era keemasan PSMS diawali sejak 1954 di mana Ayam Kinantan sering menjajal tim-tim dari luar negeri. Grazer AK, Kowloon Motorbus (Hongkong), Grasshopper, dan Star Soccerites (Singapura) adalah beberapa tim yang diundang sparring. PSMS sering menang. Itu sebabnya, Ayam Kinantan juga dijuluki sebabagi "Pembunuh" atau "Eksekutor".
Memasuki era perserikatan (1967-1990) PSMS kian menjelma sebagai tim yang ditakuti di Indonesia. Pada tahun 1967, PSMS akhirnya meraih gelar perdananya di ajang ini usai mengalahkan Persebaya Surabaya.
PSMS juga sukses mempertahankan gelar juara ini pada musim 1969-70 usai mengalahkan musuh yang sama di babak final. Bahkan pada tahun 1970, PSMS menjadi tim Indonesia pertama yang tampil di Liga Champions Asia. Pada event ini laju Ayam Kinantan terhenti di babak semifinal usai kalah 0-2 daro Taj Club.
Sempat paceklik gelar selama 8 tahun, Ayam Kinantan kembali menunjukkan tajinya pada kompetisi perserikatan tahun 1983. Di final PSMS mengalahkan Persib Bandung dengan skor 3-2 lewat drama adu penalti usai bermain imbang 0-0.
PSMS juga sukses mempertahankan gelar ini pada tahun 1985. Di partai puncak, Ayam Kinantan kembali mempecundangi Persib Bandung 2-1 lewat drama adu penalti usai bermain imbang dengan skor 2-2.
Duel digelar di Stadion Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta dan disaksikan 150 ribu penonton di mana saat itu kapasitas GBK hanya 110 ribu. Ini jadi rekor penonton terbanyak dalam sejarah sepak bola Indonesia. Bahkan menurut catatan Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC), ini merupakan rekor penonton sepak bola amatir terbanyak di dunia.
Advertisement
Paceklik Gelar Melanda
Seiring dengan era keemasan ini, mencuat juga nama-nama top dari PSMS. Sebut saja Sarman Panggabean, Tumpak Sihite, Nobon Kayamuddin, Sunarndi A, Ronny Pasla, Ricky Yakobi, Soetjipto Soentoro, Ronny Pasla, Iswadi Idris, Abdul Rahman Gurning, Parli Siagian, Zulkaranen Lubis, Jaya Hartono, dan tentu saja kiper legendaris Ponirin Meka.
Lama bercokol di puncak sepak bola Indonesia, era keemasan PSMS pudar juga. Diawali dengan kekalahan 1-2 dari PSM Makassar di final 1991-1992, prestasi Ayam Kinantan terus menurun. Saat perserikatan dihapus dan diganti dengan Liga Indonesia, PSMS justru lebih sering menjadi penghuni papan tengah.
PSMS sempat menjadi pemuncak klasemen Grup Barat Divisi Satu 1997-98. Sayang situasi politik nasional yang memanas memaksa PSSI menghentikan liga ini. Saat Liga Indonesia kembali bergulir 1998-99, PSMS sempat lolos hingga semifinal sebelum dihentikan Persebaya 2-4 lewat adu penalti usai imbang 1-1.
Meski masih diperhitungkan tim lawan, namun hingga Liga Indonesia 2001, PSMS tak pernah lagi juara.
Memasuki musim-musim berikutnya, PSMS terus mengalami penurunan. Meski demikian, Ayam Kinantan masih sempat merasakan tiga gelar turnamen pramusim Piala Emas Bang Yos (2005, 2005, 2006). PSMS sempat bangkit dan meraih final Liga Indonesia 2007-08. Namun asa Ayam Kinantan mengakhiri paceklik gelar pupus usai kalah 1-3 dari Sriwijaya FC.
Gonta-ganti Pelatih
Saat kompetisi tertinggi di Tanah Air berubah menjadi Liga Super Indonesia (ISL), di awal musim PSMS langsung dihantam berbagai masalah. Mulai dari status kandang, Stadion Teladan Medan yang tidak layak hingga eksodus pemain akibat gaji yang tak kunjung dibayar. Krisis finansial membuat Ayam Kinanta meradang.
Belum lagi kisruh yang melanda internal manajemen. Pemecatan pelatih kian sering. Iwan Setiawan yang dianggap gagal meningkatkan performa Ayam Kinantan kemudian diganti dengan Eric Williams yang tak lama dipecat juga lalu diganti Luciano Leandro. Namun mantan pemain Persija itu hanya bertahan 3 bulan. Manajemen kembali memecatnya.
PSMS kemudian ditangani asisten pelatih, Liestiadi. Namun justru di tangannya, PSMS mampu keluar dari zona degradasi dan membawa Ayam Kinantan mengukir sejarah sebagai tim pertama yang lolos ke babak perempat final AFC Cup (2009). Langkah Ayam Kinantan terhenti setelah kalah 0-4 dari Chonburi FC pada babak 16 besar.
Saat dualisme jilid satu melanda sepak bola Indonesia 2011 lalu, PSMS terbelah dua. PSMS pimpinan Idris tampil di Liga Super Indonesia (ISL) dan pimpinan Freddy Hutabarat tampil di Liga Primer Indonesia (IPL). Sejak saat itu, nama PSMS semakin tenggelam dari sepak bola Tanah Air, sampai akhirnya bangkit dan menjuarai Turnamen Piala Kemerdekaan.
Advertisement