Desa Khusus Perempuan, Jangan Harap Bertemu Pria di Sini

Jangan berharap menemukan pria di desa ini. Desa yang dikenal dengan Umoja di Kenya itu sudah didirikan 25 tahun lalu oleh Rebecca Lolosoli.

oleh Liputan6 diperbarui 15 Sep 2015, 11:00 WIB
Jangan berharap menemukan pria di desa ini. Desa yang dikenal dengan Umoja di Kenya itu sudah didirikan 25 tahun lalu oleh Rebecca Lolosoli.

Liputan6.com, Jakarta Sebuah desa umumnya dihuni kaum adam dan hawa. Tapi, jangan berharap bisa menemukan pria di desa ini. Desa yang dikenal dengan Umoja di Kenya itu sudah didirikan 25 tahun lalu oleh Rebecca Lolosoli.

Mengapa tidak ada pria di desa tersebut? Alasannya, Rebecca ingin desa tersebut menjadi tempat aman bagi perempuan dan anak perempuan yang ingin terhindar dari kekerasan para kaum pria dari Samburu, di Kenya utara.

Rebecca, anggota dari suku Samburu, sekarang menjabat sebagai ibu pemimpin Umoja Usau Women’s Village. Ia pernah menjadi korban kekerasan semasa kecil dan perlahan-lahan sampai pada kesimpulan beberapa praktik tradisional Samburu yang inheren kasar terhadap perempuan.

Rebecca mulai menentang praktik tersebut, mendukung para janda, anak yatim, dan korban pemerkosaan, pemotongan alat kelamin perempuan, dan kawin paksa.

Sikap blak-blakan Rebecca itu mendapat banyak perlawanan. Pria di desanya memukulinya, dan suaminya tidak protes. Jadi pada tahun 1990, dia memimpin eksodus perempuan dan mulai dengan desanya sendiri.

Rebecca berkumpul dengan 16 korban kekerasan (korban pemerkosaan tentara Inggris) untuk perlindungan bersama. Mereka mendirikan tenda di lapangan padang rumput kering. 'Umoja' artinya persatuan dalam bahasa Swahili. Kini persatuan itu telah berkembang menjadi desa mandiri.

 


Melawan Pria Iri

Para wanita mencoba membuat perhiasan dan kerajinan lainnya, dan mampu memenuhi kebutuhan anak-anak mereka dan diri sendiri dengan menjadikan desa mereka sebagai objek wisata.

"Tujuan kami adalah untuk meningkatkan mata pencaharian para wanita karena kemiskinan merajalela dan melawan masalah perempuan yang ditinggalkan keluarga mereka. Kami juga menyelamatkan dan merehabilitasi anak perempuan yang lari dari atau dibuang orangtua mereka karena hamil duluan atau pernikahan," kata Rebecca seperti dilansir Odditycentral, dilansir Selasa (15/9/2015).

Ia menjelaskan, pria memang tak diperkenankan tinggal di desa tersebut. Tapi, pria boleh mengunjungi selama berperilaku sesuai aturan.

Meskipun perempuan dari Umoja bisa bekerja dengan baik untuk diri mereka sendiri, tapi itu tidak selalu mudah. Rebecca menjelaskan mereka mulai dengan toko-toko kecil yang menjual jagung, makanan, dan gula. Setelah dua tahun mengalami kegagalan, mereka memutuskan mencoba menjual artefak tradisional untuk wisatawan.

Begitu mereka mulai menghasilkan uang yang layak, perempuan itu harus berurusan dengan orang-orang yang cemburu. "Beberapa orang desa terdekat memblokir jalan dan menghentikan wisatawan datang ke sini," kenang Rebecca.

Meskipun semuanya perempuan, Rebecca mengatakan kendala terbesar mereka adalah laki-laki. "Pria iri dengan prestasi kami," jelasnya.

Namun demikian, Umoja menjadi contoh matriarkal sukses, yang memberdayakan perempuan untuk memulai desa eksklusif mereka sendiri. Mereka semua bekerja untuk tujuan bersama, membersihkan masyarakat mereka dari praktik budaya negatif yang melakukan kekerasan terhadap perempuan. (Melly F)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya