Liputan6.com, Jakarta - Indonesia diproyeksi masih akan mendulang surplus neraca perdagangan pada periode Agustus 2015. Namun, surplus ini diramalkan bakal lebih rendah dibanding realisasi bulan sebelumnya yang sebesar US$ 1,33 miliar karena peningkatan kinerja impor.
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA), David E. Sumual memperkirakan total ekspor secara tahunan (year on year/YoY) merosot 17,5 persen dan penurunan kinerja impor 22,4 persen.
"Jadi total surplus neraca perdagangan Agustus ini diperkirakan US$ 471 juta. Surplusnya mengecil dibanding sebelumnya," ujar dia dalam keterangan proyeksinya di Jakarta, Selasa (15/9/2015).
Lebih jauh kata David, surplus lebih rendah ini disebabkan karena kinerja impor mulai meningkat seiring terpacunya aktivitas ekonomi di bulan kedelapan lalu. Impor naik dari bahan baku dan bahan penolong.
"Impor konsumsi juga sedikit naik. Tapi ini menunjukkan perbaikan ekonomi. Penjualan produk semen pun meningkat," tambah dia.
Sementara ekspor, sambungnya, cenderung flat alias stagnan karena harga minyak dan komoditas belum merangkak naik. "Jadi tidak membantu ekspor meskipun ada beberapa sektor yang menunjukkan peningkatan ekspor seperti garmen, tapi tidak terlalu banyak," ucap David.
Terpisah, Ekonom PT Bank Permata Josua Pardede menyatakan hal senada. Dia memperkirakan kinerja ekspor masih cenderung tertekan karena harga minyak dunia dan komoditas.
"Neraca perdagangan pada Agustus 2015 diproyeksikan surplus US$ 481 juta. Angkanya lebih rendah karena ada kenaikan impor," tutur dia.
Menurutnya, ada peningkatan impor barang konsumsi, bahan baku dan barang modal karena komitmen pemerintah untuk menggenjot pengeluaran atau belanja. "secara tahunan, ekspor turun 18,36 persen dan impor merosot 23,04 persen," papar Josua.
Berbeda, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS), Sasmito Hadi Wibowo mengatakan, tren neraca perdagangan akan mengarah positif sampai dengan akhir tahun ini.
"Disebabkan karena pelemahan nilai tukar rupiah sehingga barang-barang ekspor Indonesia lebih kompetitif di luar negeri. Barang impor menjadi lebih mahal, sehingga ekspor terdorong naik dan impor tertekan," pungkas Sasmito. (Fik/Gdn)
Energi & Tambang