Liputan6.com, Jakarta - Kinerja emiten di pasar modal Indonesia telah merasakan dampak dari pertumbuhan ekonomi melambat, sentimen konsumen berkurang, dan persaingan yang ketat.
Lembaga pemeringkat internasional Standard and Poor's (S&P) menyebutkan rata-rata pertumbuhan pendapatan emiten sekitar tiga persen hingga semester I 2015, dari periode sama tahun 2014 sekitar 13 persen. Tekanan terhadap peringkat kredit perusahaan yang sudah melambat akibat perlambatan ekonomi dapat berlanjut.
Advertisement
Hal itu didorong dari pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Lembaga pemeringkat internasional, Standard and Poor's menilai depresiasi atau pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dapat mempengaruhi peringkat sejumlah emiten di pasar modal Indonesia.
S&P memang tidak mempertimbangkan depresiasi mata uang yang signifikan terhadap kualitas kredit emiten seperti pada 2008-2009, atau bahkan pada 1998 ketika krisis keuangan melanda Asia pada laporan April 2015.
Namun dalam laporan S&P berjudul 15.000 Rupiah To One US Dolar Could Be The Level To Watch for Rated Indonesian Companies, yang ditulis Rabu (16/9/2015) menyebutkan kalau nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menembus 15.000 dapat menekan perusahaan yang antara pemasukan dan pengeluaran dengan mata uang yang berbeda dan juga bagi emiten yang terbatas melakukan lindung nilai atau hedging.
Standard and Poor's percaya risiko kalau penurunan kualitas kredit secara keseluruhan terhadap sektor korporasi Indonesia akan bertahan selama enam -12 bulan ke depan.
Selama enam bulan terakhir, S&P telah menyampaikan 10 perusahaan memiliki prospek positif. Lembaga pemeringkat internasional ini telah merevisi prospek delapan perusahaan dari stabil menjadi positif pada 21 Mei 2015.
S&P percaya kalau perusahaan-perusahaan ini mendapatkan keuntungan dari potensi dukungan pemerintah yang luar biasa. Sedangkan revisi prospek lainnya menjadi positif dari stabil mencerminkan prospek kinerja keuangan lebih kuat terutama emiten PT Pakuwon Jati Tbkk dan PT Profesional Telekomunikasi Indonesia Tbk.
Kemudian 11 perusahaan memiliki prospek (outlook) stabil. Sebagian besar perusahaan-perusahaan ini beroperasi di sektor non siklus yang memiliki peringkat stabil terutama di sektor infrastruktur, pembangkit listrik, dan telekomunikasi. Serta perusahaan memiliki likuiditas memadai.
Sementara itu, enam perusahaan mendapatkan prospek negatif. Hal itu terutama bagi perusahaan di sektor barang konsumsi, perkebunan, manufaktur, media dan ritel. Proporsi perusahaan dengan peringkat negatif ini meningkat menjadi 20 persen selama dua kuartal terakhir. Padahal pada April 2015, S&P memiliki prospek negatif kurang dari 10 persen untuk sejumlah perusahaan.
Depresiasi Mata Uang Berdampak Terhadap Peringkat Perusahaan Indonesia?
Lalu Apakah Depresiasi Mata Uang Berdampak Terhadap Peringkat Perusahaan Indonesia?
S&P menilai faktor depresiasi rupiah terhadap dolar AS memang tidak langsung mempengaruh terhadap peringkat perusahaan. Namun dampak depresiasi rupiah itu berpengaruh ke operasional, margin dan kapasitas perusahaan merefinancing utang. Di antara sejumlah emiten yang telah dinilai, S&P mempertimbangkan produsen ban, PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL) dan produsen pakan ternak PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) memiliki eksposur terbesar untuk operasional karena depresiasi mata uang. Kurs tengah Bank Indonesia (BI) telah melemah 15,77 persen dari Rp 12.474 per dolar AS pada 2 Januari 2015 menjadi Rp 14.442 pada 16 September 2015.
Dalam tiga bulan terakhir, S&P telah menurunkan peringkat kedua perusahaan menjadi B dengan prospek negatif. Penurunan peringkat itu lantaran kondisi operasional yang sulit ditambah biaya utang tinggi karena depresiasi rupiah.
Biaya operasional kedua perusahaan itu setengahnya dalam dolar AS. Selain itu, kedua emiten juga menghadapi kompetisi ketat dan harga makin tertekan di pasar domestik. Pihaknya memperkirakan margin EBITDA dapat jatuh 10 persen-10,5 persen untuk PT Gajah Tunggal Tbk dan sekitar 4,5 persen untuk PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk jika nilai tukar rupiah tembus 15.000 per dolar AS selama lebih dari enam bulan.
"Dengan skenario itu, perusahaan kelihatannya tidak dapat mencapai proyeksi target tahunan 2015 dan 2016 sehingga menyebabkan tekanan peringkat lebih lanjut," tulis riset S&P.
Selain itu, depresiasi rupiah juga menyulitkan refinancing dan menaikkan pendanaan bagi perusahaan yang tidak melakukan lindung nilai utang dalam bentuk dolar AS.
Apalagi emiten itu menghadapi utang jatuh tempo dalam jangka pendek cukup besar.Emiten-emiten yang paling terkena sentimen itu antara lain PT Jafpa Comfeed Indonesia Tbk, PT Gajah Tunggal Tbk, dan PT MNC Investama Tbk.
Kemudian ada juga emiten PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), dan PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU). PT Bumi Resources Tbk (BUMI) juga memiliki utang jatuh tempo jangka pendek cukup besar namun kurang terekspos dengan fluktuasi mata uang asing dibandingkan pendapatan BUMI dalam bentuk dolar AS.
Tabel Utang Jatuh Tempo
Emiten | Utang Jatuh Tempo | Kas | Likuiditas |
PT Aneka Tambang Tbk | Rp 2,99 Triliun | Rp 2,03 Triliun | Kurang Mencukupi |
PT Berau Coal Energy Tbk | US$ 339 Juta | US$ 634,4 Juta | Lemah (Sebagian Default) |
PT Bumi Resources Tbk | US$ 2,6 Miliar | US$ 4,46 Miliar | Lemah (Default) |
PT Energi Mega Persada Tbk | US$ 202,2 Juta | US$ 84,9 Juta | Kurang Mencukupi |
PT Gajah Tunggal Tbk | Rp 846 Miliar | Rp 867,9 Miliar | Kurang Mencukupi |
PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk | Rp 3,57 Triliun | Rp 910,6 Miliar | Kurang Mencukupi |
PT MNC Investama Tbk | Rp 1,2 Triliun | Rp 3,19 Triliun | Cukup |
Advertisement
Kinerja Menyusut Tekan Kualitas Kredit?
Apakah Kinerja Menyusut Dapat Menekan Kualitas Kredit?
S&P menilai semua peluang sama, namun pihaknya tidak mengharapkan kualitas kredit emiten Indonesia dapat memburuk. Kecuali memang nilai tukar rupiah menembus 15.000 per dolar AS dalam waktu 3-6 bulan.
Pada level nilai tukar rupiah terhadap dolar AS itu, emiten mendapatkan tekanan untuk pembayaran utang, terutama mata uang tidak dilindung nilai. Dilaporkan biaya utang dan bunga naik sehingga mengangkat pembiayaan perusahaan yang berdenominasi dolar AS menjadi dua kali lipat.
Tekanan rupiah yang terus berlanjut juga dapat mempengaruhi struktur modal emiten ke depan. Terutama bagi emiten yang tidak melakukan lindung nilai terhadap utang dalam jumlah besar. Ini menjadi tantangan untuk menghadapi persyaratan pembiayaan jangka pendek cukup tinggi. (Ahm/Igw)