Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menembus level 14.400 ternyata tidak otomatis membawa keuntungan bagi produk dan komoditi ekspor Indonesia.
Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia ( GPEI), Toto Dirgantoro mengatakan nilai tukar rupiah tertekan terhadap dolar AS seharusnya membawa keuntungan bagi eksportir. Namun sayang, harga komoditas anjlok membuat pelemahan rupiah tidak memberikan dampak signifikan.
Advertisement
"Posisi melemahnya rupiah untuk ekspor harusnya bagus. Cuma lebih dominan komoditi yang bahan bakunya lokal. Cuma masalahnya komoditi kita harganya sedang anjlok, harga karet turun, kopi, kakao, batu bara, sehingga tidak mengangkat ekonomi kita," ujar Toto di Jakarta, Kamis (17/9/2012).
Dia menjelaskan, upaya pemerintah untuk menggenjot sektor industri pun dinilai sedikit terlambat. Lantaran sebagian industri lokal pun masih tergantung pada bahan baku impor. Sehingga pelemahan rupiah ini juga memberatkan sektor industri.
"Yang ada sekarang bagaimana menggenjot industri kita yang lagi bagus yaitu manufaktur. Tapi itu sebagian besar bahan bakunya juga impor. Jadi ini sedang dilema sehingga pertumbuhan itu masih jauh. Walaupun Agustus ini seraca perdagangan masih suplus," jelas Toto.
Para pengusaha dan eksportir, lanjut Toto, sebenarnya berharap pemerintah bisa menjaga kestabilan nilai tukar rupiah ketimbang rupiah harus anjlok ke level yang rendah.
Dengan kestabilan rupiah, maka akan tercipta ketenangan dalam berusaha."Yang diharapkan bukan rupiah lemah atau kuat. Tapi yang diharapkan ada fundamental yang terjaga. Sekarang dolar AS untuk bisa ke Rp 13 ribu sulit, trennya akan terus naik. Yang diharapkan bagaimana rupiah stabil perlu terobosan dari para pemangku kekuasaan," ujar Toto.
Seperti diketahui kurs tengah Bank Indonesia (BI) melemah 15,85 persen dari 12.474 per dolar AS pada 2 Januari 2015 menjadi 14.452 per dolar AS pada 17 September 2015. (Dny/Ahm)