Liputan6.com, Hong Kong - Ini prakiraan cuaca untuk Hong Kong pada 18 September 1906: angin bertiup dengan kecepatan moderat, hujan sedang disertai guntur berpotensi terjadi.
Sama sekali tak ada petunjuk yang mengarah bencana dahsyat yang bakal menimpa wilayah yang dulu masih menjadi koloni Inggris itu.
Pada pukul 07.44 waktu setempat, peringatan tiba-tiba dikeluarkan. Badan meteorologi menyebutkan, ada angin topan berjarak 300 mil dari daratan. Meriam 'typhoon gun' pun diletuskan agar orang-orang bersedia menghadapi bencana.
Peringatan itu terlalu mepet. Terlambat. 15 menit kemudian, topan menghantam, angin berkecepatan 108 mil per jam atau 174 km per jam berhembus kencang.
Akibatnya 22 kapal berukuran sedang tenggelam, 11 bahtera besar pun ikut karam dibuatnya. Apalagi, 2.000 sampan atau perahu yang langsung tak berdaya dan binasa ditelan air laut yang bergolak bak tsunami.
Advertisement
1,5 jam setelah meriam diletuskan, kapal AS P, Hitchcock seberat 2.000 ton terhempas. Kandas. Kapal Jerman Petrarch dihela angin menabrak Luyken dan Montreagle.
Kapal berat lainnya, San Cheung pun rusak berat, menabrak puluhan kapal lainnya. Jemari sang kapten patah saat berusaha menyeimbangkan bahtera dengan kemudinya.
Sementara itu di Distrik Kowloon, ratusan rumah berubah jadi 'senjata mematikan'. Atap yang robek, serpihan tajam dinding bambu pecah, beterbangan di udara bak pisau yang melayang -- membunuh dan melukai ratusan orang.
Pepohohan tumbang. Bangunan hancur. Rickshaw -- becak yang ditarik manusia bergerak liar oleh angin. Beberapa dalam kondisi berpenumpang.
Hanya dalam waktu 2 jam, topan membunuh 10 ribu orang atau 5 persen dari total populasi Hong Kong. Kebanyakan adalah penduduk lokal, 'hanya' 20 warga Eropa yang masuk daftar korban jiwa. Rumah batu kokoh mereka menyelamatkan nyawa.
"Kaum elite mendapat kritikan tajam, dianggap tak mengizinkan warga lokal masuk ke bangunan mereka untuk berlindung," demikian Liputan6.com kutip dari buku 'Natural Disaster' karya Lee Allyn Davis.
Namun, ada juga kisah kepahlawanan. "Saat topan mencapai puncaknya, warga China terbawa angin di Pedder Street, lalu tercebur... Seorang warga Eropa melawan angin dan dengan berani melompat ke air untuk menyelamatkan korban," demikian dimuat South China Morning Post.
"Ia berhasil menyelamatkan nyawa korban dengan bantuan seorang polisi India yang membuka gulungan sorbannya dan menjadikannya tambang untuk menarik orang yang nyaris tenggelam dan penolongnya."
Hikmah dari kejadian tersebut, sistem peringatan dini di badan meteorologi, Hong Kong Observatory dikoordinasikan dengan negara-negara sekitar.
Namun, bencana kembali datang sekitar 30 tahun kemudian. Saat topan datang mirip ledakan bom nuklir pada 2 September 1937...
Bukan itu saja peristiwa penting yang terjadi pada 18 September. Pada 1961, kabar duka mengguncang markas Perserikatan Bangsa-bangsa di New York. Sekjen PBB kala itu Dag Hammarskjold tewas dalam kecelakaan pesawat dalam perjalanan dalam rangka menjadi penengah perundingan damai perang saudara di Kongo.
Dag Hammarskjold, secara anumerta, dianugerahi Penghargaan Nobel Perdamaian pada 1961.
Pada 18 September 1980, kosmonot Arnoldo Tamayo asal Kuba menjadi pria Latin sekaligus keturunan Afrika pertama yang ke luar angkasa.
Kemudian, pada 18 September 1975, 39 tahun lalu, Patricia Campbell Hearst atau Patty Hearst ditangkap atas tuduhan perampokan bersenjata. Perempuan cantik itu bukan penjahat biasa.
Dia adalah putri miliuner yang jadi korban penculikan, namun akhirnya memilih bergabung dengan komplotan penculiknya. Kisahnya menjadi contoh kasus Stockholm Syndrome atau Sindrom Stockholm. (Ein/Rmn)