Liputan6.com, Surabaya - Pemandangan di Jalan Tunjungan Surabaya, Jawa Timur Sabtu siang berbeda dari biasanya. Ratusan masyarakat Surabaya, memadati jalan itu tepatnya di halaman hotel Majapahit. Mereka mengenakan kostum ala pejuang kemerdekaan dan atribut tentara zaman kolonial.
Mereka terdiri dari partisipan dari jajaran Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) cabang Surabaya, Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) Kota Surabaya, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kota Surabaya, dan siswa-siswi SMA Surabaya, serta masyarakat Surabaya.
Advertisement
Rupanya mereka tengah mengikuti rekonstruksi 70 tahun insiden perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato atau yang sekarang lebih dikenal Hotel Majapahit. Terang saja mereka terlihat bersemangat.
Walikota Surabaya Tri Rismaharini atau yang akrab disapa Risma yang membacakan pidato kebangsaan di hadapan para partisipan, juga terlihat semangat berapi-api.
"Dari Surabaya, kita telah menguatkan arti merah dan putih sesungguhnya. Keberanian yang suci untuk memerdekakan diri dari ketertinggalan, kemerdekaan yang suci untuk memerdekakan diri dari kebodohan, keberanian yang suci untuk merdeka dari kemiskinan," seru Risma, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (19/9/2015).
"Surabaya Merah Putih telah terpatri di jiwa pemuda dan rakyat Surabaya. Keringatnya selalu berguna untuk menegakkan sang Dwi Warna," sambung dia.
Ketua LVRI cabang Surabaya Hartoyik mengatakan, peringatan perobekan bendera Belanda biasa dilakukan secara rutin oleh para veteran. Namun peringatan itu masih dalam bentuk tasyakuran setiap 19 September.
Karena itu, Hartoyik mengapresiasi kepada Pemerintah Kota Surabaya. Karena dengan adanya rekonstruksi peristiwa bersejarah ini, para generasi muda diharapkan bisa mengenal sejarah tidak hanya melalui cerita, namun melalui reka ulang ini.
"Kami para veteran telah melaksanakan peringatan perobekan bendera tiap tahunnya, namun dalam bentuk tasyakuran. Kami mengapresiasi pihak Pemkot yang mulai tahun ini hingga tahun berikutnya akan terus memperingati hari bersejarah bagi kami," kata Hartoyik.
Sedangkan Heri Prasetyo, seniman yang lebih akrab disapa Heri Lentho ini menjelaskan, menurut catatan harian Ploegman, insiden ini awalnya dimulai ketika Presiden I RI Ir Soekarno mengeluarkan maklumat pada 1 September 1945.
Maklumat itu berisi imbauan agar bendera Merah Putih harus dikibarkan di seluruh wilayah Tanah Air. Namun, saat itu tentara Belanda yang sedang memperingati hari Ratu Wilhelmina, malah mengibarkan benderanya.
"Ini peristiwa heroik yang pertama dilakukan oleh arek-arek Suroboyo. Sebab saat itu keadaan orang Surabaya miskin, kurang makan, dan tidak memiliki senjata karena baru saja dijajah Jepang. Namun, mereka berani melawan orang-orang Belanda yang dengan sombong berada di hotel mewah. Rasa patriotismenya tidak bisa dibendung," pungkas Heri Lentho.
Tepat di atap Hotel Yamato 70 tahun yang lalu, tepatnya 19 September 1945, terjadi perobekan bendera Belanda, yang kemudian menjadi bendara Merah Putih dan dikibarkan kembali di atap atap hotel yang juga biasa disebut Hotel Oranje ini.
Dalam rekonstruksi, usai pengibaran bendera Merah Putih, para partisipan menyanyikan Lagu Indonesia Raya. Untuk memperingati jasa para pejuang, mereka melanjutkan dengan mengheningkan cipta sembari menyanyikan lagu Gugur Bunga diiringi musik dari para pelajar.
Pada akhir acara ini, seluruh partisipan serentak menghentakan kaki ke tanah dan tangan kanan mengeluarkan bendera Merah Putih kecil, dengan sorot mata tertuju ke bendera Merah Putih yang berdiri di atas Hotel Yamato. Kemudian, mereka bersama-sama menyanyikan lagu Berkibarlah Benderaku dengan penuh semangat. Selain itu, seorang veteran bernama SK Syafie maju ke panggung membacakan sajak veteran. (Rmn/Nda)