Penurunan Harga BBM Harus Ada di Paket Kebijakan Ekonomi Jilid II

Paket kebijakan ekonomi tahap I belum tepat sasaran lantaran tidak dirasakan sampai kalangan masyarakat miskin.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 20 Sep 2015, 14:29 WIB
Presiden Jokowi jelang mengumumkan paket kebijakan ekonomi tahap pertama di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (9/9/2015). Pemerintah fokus pada penguatan ekonomi makro, daya saing ekonomi nasional, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Paket kebijakan ekonomi tahap I yang dirilis 9 September lalu dikritisi sejumlah pihak karena belum tepat sasaran, terutama untuk masyarakat miskin. Pemerintah diimbau perlu mengambil kebijakan penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) sebagai stimulus dan membantu dunia usaha dalam situasi krisis.

Senator DPD RI, Abdul Azis Khafia mengungkapkan, paket kebijakan ekonomi belum tersosialisasikan dengan baik sampai ke masyarakat yang tinggal di daerah. Kebijakan yang dilahirkan pemerintah, tambahnya, tidak mengobati permasalahan yang ada.

"Masyarakat di daerah tidak tahu kalau ada paket kebijakan ekonomi. Tahunya harga beras, minyak goreng naik. Kondisi ekonomi sekarang ini berdampak ke masyarakat yang ada di daerah Timur Indonesia. Kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat," tegas dia dalam acara Diskusi Senator Kita, Gedung Dewan Pers di Jakarta, Minggu (20/9/2015).

Akibatnya, kata Azis, terjadi kenaikan angka kemiskinan 860 ribu penduduk pada Maret 2015. Perlambatan ekonomi nasional, sambungnya juga mengancam Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) ketika harga bahan baku membumbung tinggi.

"Kita terjebak dalam ekonomi global sekarang ini. Paket kebijakan kemarin tidak memberi solusi supaya kita mendapat kepastian bisa keluar dari krisis ekonomi. UMKM terancam karena tidak bisa produksi barang karena harga bahan baku jauh dari jangkauan," tutur dia.

Guru Besar Universitas Lampung, Bustanul Arifin meyakini bahwa akan ada paket kebijakan ekonomi lanjutan atau jilid ke II yang lebih sektoral. "Saya rasa akan ada paket ekonomi lanjutan secara sektoral. Jika tidak dikeluarkan, maka ekonomi kita belum akan bisa bergerak," terangnya.

Dalam kesempatan yang sama, Peneliti LPEM Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Teguh Dartanto mengakui paket kebijakan ekonomi tahap I belum tepat sasaran lantaran tidak dirasakan sampai kalangan masyarakat miskin.

"Kartu sakti sebagai bantalan sosial bukan untuk meningkatkan kesempatan kerja, tapi pendidikan dan kesehatan. Jadi yang harus ada di paket kebijakan selanjutnya adalah turunkan harga BBM. BBM harus disesuaikan karena harga minyak dunia sudah turun," tegas dia.

Teguh menegaskan bahwa meski pemerintah mengambil kebijakan penurunan harga BBM tidak akan membahayakan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"BBM turun tidak membahayakan APBN, karena harga minyak dunia sudah turun. Kebijakan ini akan menyentuh masyarakat bawah, termasuk UMKM. Itu yang seharusnya dilakukan pemerintah," cetusnya.

Rencana Pemerintah 

Namun pemerintah sebelumnya menegaskan tidak akan ada opsi penurunan BBM pada paket kebijakan ekonomi tahap berikutnya meski ada potensi anjloknya harga minyak dunia hingga US$ 20 per barel di tahun ini.

Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Montty Giriana mengungkapkan, masyarakat sudah terbiasa dengan harga jual BBM jenis Premium Rp 7.700 dan Solar Rp 6.900 per liter, sehingga penurunan harga BBM bukan sesuatu yang mendesak dilakukan.

"Tidak urgent, masyarakat sudah oke dengan harga saat ini. Karena kalau sudah turun susah lagi naik saat harga minyak dunia naik," ujar dia.

Menurut Montty, pemerintah belum akan memasukkan penurunan harga BBM sebagai salah satu daftar paket kebijakan ekonomi tahap II yang dijanjikan segera meluncur pada akhir September atau paling lambat Oktober ini.

"Belum sampai ke situ. Belum dipastikan penurunan harga minyak dunia saat ini menentukan harga BBM mendatang. Sementara ini masih tetap," pungkas dia. (Fik/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya