Liputan6.com, Berlin - Hilde Schramm, 79 tahun, adalah putri Albert Speer, arsitek kepercayaan Adolf Hitler. Semasa hidupnya Hilde mengkampanyekan perdamaian, memerangi rasisme, dan mendukung gerakan hijau Jerman.
Tahun ini dia memutuskan untuk membantu dua pengungsi Suriah. Dia berbagi rumahnya, berbagi dapur dan kamar mandi selama delapan bulan dengan dua pengungsi Suriah, Nizar dan Ahmad.
Advertisement
Awalnya suatu hari saat mengagumi apel, peach, dan pohon pir yang mengelilingi vilanya di Berlin yang indah, pandangan mata Hilde Schramm tiba-tiba terpaku pada dua orang asing di rumahnya.
Dia menebak orang asing itu dari Suriah. "Itu benar-benar bagus," kata Hilde kepada Abby d'Arcy, wartawan BBC 11 September lalu, dengan senang.
"Tumpangan Suriahku membawa teman-temannya. Mereka selalu tahu orang-orang yang datang dari Suriah. Mereka tinggal di sini sementara mereka memutuskan apa yang harus dilakukan selanjutnya."
Bagi Hilde tampaknya itu hal logis yang bisa dilakukannya, mengingat Reception Center Berlin kewalahan menghadapi masuknya pengungsi.
"Siapa pun yang memiliki ruang untuk pengungsi, harus barbagi rumahnya," kata Hilde.
Vilanya begitu elegan, besar dan luas. Dengan denah menyerupai labirin, pintu-pintu kayu ganda membentang hingga ke lantai empat.
"Keputusan itu sangat sederhana," kata Hilde kepada BBC. "Kami memiliki ruang di sini dan semua orang setuju untuk itu."
Saat ditanya ada berapa banyak orang yang tinggal di vila tersebut, dia mengaku tidak tahu.
"Ini adalah rumah benar-benar besar," katanya. "Kita harus hidup bersama dari berbagai jenis masyarakat untuk mencoba dan mengisinya."
Hilde membeli rumah ini pada tahun 1968 bersama suami dan pasangan lain. Idenya adalah untuk hidup sebagai sebuah komunitas, mendukung satu sama lain, dan membesarkan anak-anak bersama-sama. Mereka bahkan memulai taman kanak-kanak di rumah kebun.
Pada puncaknya, ada sekitar 16 orang dewasa dan enam anak yang tinggal di sini. Mereka datang dan pergi selama beberapa dekade, tapi Hilde tetap tinggal.
Hilde berbagi lantainya rumah dengan dua pemuda Suriah - dan bahkan dia terkejut, betapa semua lancar di bulan-bulan pertama.
"Aku takut akan ada terlalu banyak mengatur, bahwa aku akan panik dan berpikir itu adalah beban," katanya. "Terus terang, itu menakjubkan. Tidak ada masalah."
Hal ini beruntung karena Hilde adalah seorang wanita dengan sedikit waktu di tangannya. Hidupnya ia dedikasikan untuk pekerjaannya, salah satu yayasannya disebut Zurueckgeben, atau "memberikan kembali", yang mendukung perempuan Yahudi untuk bekerja di bidang seni dan akademis di Jerman.
Tidak Pernah Tahu Siapa Sebenarnya Sang Ayah
Hilde masih berusia 9 tahun ketika perang berakhir dan nyaris tidak tahu siapa ayahnya. Albert Speer adalah kepala arsitek kepercayaan Hitler lalu ditunjuk sebagai Menteri Peralatan Perang.
Tapi setelah ayahnya dijatuhi hukuman 20 tahun penjara, dia mulai korespondensi panjang dengannya, mencoba memahami pria itu dan motifnya.
Hilde mewarisi beberapa lukisan dari ayahnya. Ia menjualnya dan keuntungannya ia dedikasikan ke yayasannya.
"Kebanyakan orang Jerman benar-benar mengambil keuntungan dari penganiayaan orang Yahudi, menghilangkan pekerjaan mereka, menghilangkan barang dan rumah-rumah mereka," katanya. Di matanya, mengembalikan barang kepada orang-orang Yahudi adalah tugas kolektif.
Hilde memiliki peran penting dalam gerakan perdamaian pada tahun 1980, dan kemudian terpilih dua kali sebagai anggota parlemen untuk Partai Hijau yang masih muda.
Kemudian, setelah reunifikasi Jerman, dia membidani sebuah organisasi yang berjuang melawan rasisme di bagian bekas Jerman Timur.
Albert Speer 1905-1981
Bergabung dengan Partai Nazi pada tahun 1931, menjadi arsitek pribadi Hitler pada tahun 1933 dan menyusun rencana untuk membangun kembali seluruh Berlin.
Ia adalah pria di balik parade dan spanduk untuk kongres Partai Nuremberg 1934.
Sebagai menteri persenjataan dan amunisi dari tahun 1942, ia memperluas wajib militer dan memperbudak tenaga kerja Yahudi. Para budak ditahan di kamp-kamp konsentrasi.
Pada pengadilan Nuremberg ia menyatakan penyesalan atas kejahatan Nazi namun menolak keterlibatannya secara langsung rencana untuk memusnahkan orang-orang Yahudi.
Speer dihukum karena kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, dia menjalani hukuman penjara 20 tahun di Berlin.
Advertisement
Berbagi Tugas
Waktunya makan malam. Hilde duduk di ruang makan sekaligus dapur bersama kedua pemuda Suriah. Pandangan matanya menunjukkan kekaguman kepada Ahmad yang cekatan menuangkan teh dari panci.
Wartawan BBC hati-hati menanyakan tentang tugas-tugas dan aturan rumah. Siapa yang mengambil sampah keluar, siapa yang melakukan pembersihan?
"Ada jawaban yang indah," jelas Hilde sambil tertawa melihat kedua pemuda itu.
"Mereka melakukan itu semua. Aku selalu mengatakan, 'Biarkan aku melakukannya," tetapi mereka lebih cepat dariku. Tidak ada aturan. Mereka hanya melakukannya."
Pada malam musim panas yang hangat selama bulan Ramadhan, mereka semua duduk di luar makan bersama, kenang Ahmad dalam bahasa Jerman nyaris tanpa cela. Baginya, datang ke rumah Hilde ini berarti ia bisa menjalani hidup normal.
"Di Reception Center, aku tidak tahu harus melakukan apa," katanya.
"Anda hanya duduk dan menunggu. Anda tidak dapat melakukan apa-apa. Anda tidak dapat belajar bahasa Jerman, tidak ada internet. Ini buruk. Datang ke sini, benar-benar sangat fantastis. Aku bisa menelepon keluargaku dan memasak."
Dapur Hilde dipenuhi aroma masakan Ahmad yang berupa daging dan nasi, salad tabbouleh, salah khas Timur Tengah , dan sup miju-miju atau sup kacang lentil.
"Ketika dia mulai memasak, aku biasanya sudah makan malam" katanya. "Tapi baunya begitu menggoda, jadi aku cicipi sedikit saja. Sayangnya, itu hampir terjadi tiap hari," gelaknya.
Nyaris Jadi Dokter Gigi
Dalam kamarnya yang luas, wartawan BBC menemukan Ahmad membawa model gigi palsu. Itu adalah satu-satunya 'cendera mata' yang berhasil ia bawa dari Suriah.
Rupanya, dahulu di Damaskus, ia adalah seorang mahasiswa fakultas kedokteran gigi. Ambisinya untuk menjadi seorang dokter kandas akibat perang saudara.
"Aku tak punya pilihan selain meninggalkan Damaskus," kata Ahmad.
Tapi datang ke Jerman dan belajar bahasa baru, bisa menghabiskan waktu hingga 3 tahun. Selain itu masih banyak rintangan untuk mendapatkan pekerjaan yang baik di sini.
Ahmad tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Dia harus meninggalkan banyak keluarga di Suriah - seorang ayah yang sakit, dan seorang ibu yang selalu percaya keluarga harus tetap bersama-sama.
"Aku sudah putar lagu ini di kepalaku tak henti-henti," terang Ahmad sambil membuka laptop dan memutar episode lama dari acara TV, Arab Idol.
"Liriknya mengingatkanku kepada ibu."
"Ayo kembali dari perjalanan Anda. Cukuplah ketidakhadiran Anda," kontestan bernyanyi, disertai dengan sitar dan khalayak yang menangis.
"Aku belum melihat keluargaku selama dua tahun sekarang," kata Ahmad, suaranya bergetar. "Dan aku tidak tahu bagaimana atau kapan aku akan dapat melihat mereka."
Seberang lorong, Nizar memutar Eminem melalui headphone-nya. "Aku selalu mendengarkan musiknya," katanya, tertawa. "Dia bilang aku harus mengambil setiap kesempatan, tidak pernah membiarkannya pergi."
Nizar baru saja kembali dari tes bahasa Jerman terbarunya. Dalam ujiannya Nizar diharuskan menjelaskan tentang hukum hak asuh anak Jerman, sesuatu yang dia tidak tahu apa-apa.
Hilda tertawa atas absurditas ini. Benar-benar sesuatu yang konyol ditanyakan kepada pengungsi yang baru saja tiba di Jerman.
Tapi dibalik humor Nizar, ia tak bisa menyembunyikan rasa frutrasinya. Kembali di Suriah, Jerman tidak pernah ada di pikirannya. Ketika ia mendapat kualifikasi sebagai dokter, ia selalu bermimpi bekerja di Teluk.
Ketika perang saudara membuatnya terlalu berbahaya untuk tinggal di Suriah, ia mendengar Jerman sedang membutuhkan dokter dan sampailah ia di sini. Namun, ia tidak bisa bekerja di Rumah Sakit sekalipun jadi petugas kebersihan.
Satu-satunya cara, ia harus kembali ke sekolah, belajar bahasa Jerman dan mendapatkan gelar yang diakui.
Dua saudara perempuannya berada di pusat penerimaan di berbagai belahan Jerman menunggu aplikasi suaka mereka untuk diproses. Salah satu saudara perempuannya, melakukan perjalanan melintasi Mediterania dengan tiga anak, berusia tujuh, lima dan satu. Nizar sempat menentangnya.
"Itu sangat berbahaya. Adikku bercerita orang meninggal di depan mata mereka," katanya.
Sekarang mereka ada di sini, Nizar senang luar biasa dan berharap dia akan melihat mereka lagi segera.
Nizar kewalahan oleh kebaikan dan kemurahan hati dari orang-orang yang ia temui di sini. Tidak hanya Hilde, tetapi juga orang-orang yang tinggal di lantai lain di rumah itu, yang memberinya sepeda atau hanya mengatakan kepadanya apakah ia pernah membutuhkan sesuatu.
"Aku tidak bisa membalas kebaikan mereka," katanya.
"Aku mencoba untuk bersikap baik seperti mereka, tapi rasanya kebaikanku tak sebesar mereka."
Hilde melihat situasi yang sangat berbeda. Beberapa bulan terakhir, Hilde mengalami sakit punggung. Nizar dan Ahmad begitu berharga, membantu dengan pekerjaan rumah tangga dan melakukan belanjanya.
"Mereka bersedia melakukan banyak bagiku," katanya. "Aku hampir harus berhati-hati agar tidak terlalu banyak meminta."
"Kami tertawa dan mengatakan, 'Aku pikir aku membantu Anda, tetapi kamu justru membantuku." Ini semua berbalik," kata Hilde tersenyum. (Rie/Hmb)
Advertisement