Liputan6.com, Washington DC - Semua orang punya cerita. Baik Anda seorang pekerja kantoran, bintang film, ataupun tunawisma.
Sebagian besar orang, mungkin termasuk Anda, ingin dikenal lebih dari sekedar nama-- namun dihargai sesuai dengan cita-cita. Kesempatan itu terdapat dalam karir ataupun hobi. Seperti menekuni hal yang Anda minati, atau mengasah bakat yang Anda banggakan-- tentunya dengan mengerahkan tenaga, waktu, dan biaya.
Advertisement
Namun, ada yang disebut privilese atau hak istimewa. Suka tak suka, kondisi sosial dan ekonomi akan menjadi penentu mudah atau sulitnya perjalanan Anda untuk meraih kesuksesan dan menjadi pribadi yang dikenal.
Hal itu tidak mengartikan Anda atau mereka berada dalam kondisi yang lebih sulit untuk mencapai mimpi, namun usaha Anda akan menjadi jauh lebih keras untuk menggapainya. Dalam proses pun, Anda akan kerap dianggap kekurangan.
Bagaimana Anda ingin terkenal?
Satu pertanyaan inilah yang memulai 'Proyek Foto Diri', sebuah pameran yang menampilkan kekuatan batin individu tunawisma dalam selembar foto.
Organisasi Art Start penggagasnya. Menggunakan elemen ekspresionis, mereka menggunakan karya seni sebagai alat untuk memberdayakan kekuatan komunitas marginal. Proyek ini diharapkan dapat mengubah citra kalangan tunawisma di mata masyarakat.
Untuk proyek ini, 14 remaja putra dan putri diajak mengungkapkan kisah-kisah mereka. Berbagi harapan untuk masa depan, bahkan mimpi tergila mereka.
Menggunakan video monitor, fotomural skala besar, dan mengerahkan tenaga para fotografer andal, kisah-kisah mereka diabadikan dalam selembar foto. Teknik pengambilan gambar dan fotomanipulasi mengubah ambisi subjek menjadi diorama manusia. Mengubah para peserta itu menjadi ilmuwan, bintang pop, astronot, dan seniman.
"Pada saat itu, jumlah tunawisma di New York sedang tinggi, salah satu misi dari Art Star adalah memulai dialog mengenai seperti apa mereka ingin dilihat," jelas Johanna de los Santos, wakil direktur eksekutif Art Start pada Huffington Post.
Dalam dialog mengenai kapitalisme, visual mengenai kaum tunawisma menggambarkan mereka sebagai sosok yang tidak berdaya. Mereka diharapkan hanya sekedar memicu simpati orang yang melihatnya-- dan kurang lebih diperlakukan sebagai objek. Secara sekilas mungkin terdengar tidak terlalu buruk, namun dalam jangka panjang, ini akan memicu masyarakat memandang mereka yang memiliki ketidakberuntungan ekonomi sebagai makhluk yang lebih rendah.
Art Start ingin membelokkan narasi. Seorang tunawisma juga memiliki mimpi dan harapan disamping mencari tempat tinggal. (Ikr/Rcy)