Ini yang Menyebabkan Kasus Kekerasan Antaranak Makin Marak

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menginginkan peran lebih dari guru dan orang tua guna mencegah terjadinya tindak kekerasan

oleh Liputan6 diperbarui 23 Sep 2015, 09:00 WIB
Ilustrasi Kekerasan dan Penganiayaan

Liputan6.com, Jakarta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menginginkan peran lebih dari guru dan orang tua guna mencegah terjadinya tindak kekerasan antara sesama anak seperti di lingkungan sekolah sebagaimana telah terjadi sejumlah kasus di berbagai daerah.

"LPSK menyatakan turut berdukacita atas jatuhnya lagi korban tewas akibat perkelahian antar sesama anak di bawah umur. Korban An warga Kebayoran Jaksel merupakan korban ke-3 perkelahian antar anak selama 2015 setelah sebelumnya terjadi di Kediri Jatim dan Rokan Hulu Riau," kata Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai dalam keterangan pers tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.

LPSK, ujar Abdul Haris Semendawai, sangat menyesalkan terulangnya peristiwa itu dan mengharapkan peran lebih dari institisi sekolah dan keluarga.

Sekolah sebagai institusi pendidikan, ujar dia, mutlak bertugas memberikan pengetahuan kepada para muridnya. Lebih dari itu, sekolah juga berperan membangun nilai-nilai kepribadian seorang anak.

"Seorang anak menghabiskan banyak waktunya di sekolah, maka peran sekolah sangat penting dalam membentuk pribadi seorang anak. Termasuk nilai-nilai kebaikan, sehingga tidak ada lagi anak yang menjadi korban perkelahian dengan temannya," jelas Semendawai.

Dia berpendapat, peran sekolah sangat dominan dalam membentuk pribadi seorang anak, namun peran orang tua tidak kalah vital antara lain karena keluarga sebagai institusi pertama bagi seorang anak, didikan keluarga akan sangat mendalam bagi seorang anak.

"Orangtua bisa melengkapi ajaran di sekolah dengan nilai-nilai moral positif di rumah. Termasuk menghindari cara-cara kekerasan," ucap Ketua LPSK.

Ia juga mengemukakan, kekerasan berujung kematian yang diakibatkan dari perkelahian antar anak dibawah umur sangat sulit untuk diselesaikan secara hukum.

Hal ini terkait Sistem Peradilan Pidana Anak, dimana anak dibawah usia 12 tahun tidak dapat diproses secara pidana.

"Oleh karenanya peran institusi pendidikan dan keluarga penting supaya tindak pidana yang dilakukan anak tidak sampai terjadi sehingga tidak ada lagi anak yang menjadi korban," pungkasnya.

Sebelumnya, Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto meminta seluruh sekolah di Indonesia untuk mencegah kasus "bullying" sedini mungkin untuk mencegah jatuhnya korban, apalagi hingga meninggal dunia.

"'Bullying' merupakan tindakan yang tidak boleh tumbuh dalam dunia pendidikan karena merupakan perilaku yang tidak senafas dengan nilai-nilai luhur pendidikan," kata Susanto melalui siaran pers diterima di Jakarta, Senin (21/9).

Ketua Divisi Sosialisasi KPAI itu mengatakan, dalam banyak kasus, "bullying fisik" seringkali diawali "bullying verbal" meskipun tidak selalu seperti itu. Karena itu, perlu ada beberapa upaya yang dilakukan sekolah untuk mencegah "bullying" yang dilakukan maupun terhadap anak didik.

Menurut Susanto, tenaga pendidikan dan institusi pendidikan juga perlu memastikan siswa memiliki kesadaran dan pemahaman bahwa "bullying" tidak boleh terjadi dan harus dijauhi.

Selain itu, sekolah juga perlu membangun mekanisme pengaduan bila terjadi kasus "bullying" di sekolah, dengan meminimalkan dampak negatif yang tidak diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya