Liputan6.com, London - Misteri pembunuhan berantai di kawasan Whitechapel di London, Inggris pada musim gugur 1888 masih menyisakan pertanyaan besar hingga sekarang.
Walaupun kasusnya sudah dinyatakan ditutup pada tahun 1892, kejahatan yang dilakukan “Jack the Ripper” itu belum tuntas hingga sekarang, terutama jati diri asli sang pelaku.
Advertisement
Sudah ada sejumlah teori yang diajukan oleh sejarawan, kriminolog, maupun kalangan amatir, namun masih ada perbantahan mengenai kesimpulan akhir. Laman History mengajukan 6 terduga yang ditengarai sebagai “Jack the Ripper” tersebut:
Carl Feigenbaum
Menurut suatu hipotesis yang diajukan oleh pensiunan detektif Inggris, Jack adalah seorang pelaut berkebangsaan Jerman bernama Carl Feigenbaum yang dihukum mati karena membunuh seorang wanita di New York pada 1894.
Sang detektif, Trevor Marriott, adalah seorang mantan anggota kesatuan bidang pembunuhan. Ia mengajukan dua fakta bahwa dua galangan kapal dagang sedang ramai di dekat daerah Whitechapel itu dan ada dua orang pria yang melintasinya diketahui sebagai pelanggan rumah bordil setempa. Jack the Ripper ditengarai khusus mengincar para PSK.
Sang detektif juga melihat kemiripan kejahatan Jack the Ripper dengan pembantaian Julianna Hoffman, yang ditengarai menjadi korban Carl Feigenbaum enam tahun sebelumnya. Arsip penelitian mengungkapkan bahwa Carl Feigenbaum memiliki beberapa nama samaran. Ia adalah kelasi untuk Norddeutsche Line yang memiliki sejumlah kapal yang sedang sandar dekat Whitechapel di setiap tanggal kejahatan Jack the Ripper.
Taylor Marriott juga menemukan bahwa pengacara pembela Carl Feigenbaum juga menyimpulkan hal yang serupa seabad lalu dan bahkan berkisah kepada sejumlah harian bahwa kliennya mengaku sebagai pembunuh berantai. Pengacara itu bahkan dapat ‘menempatkan’ klien itu di Whitechapel pada saat terjadinya rangkaian pembunuhan oleh Jack the Ripper.
Advertisement
Pangeran Albert Victor
Salah satu terduga yang paling mencengangkan dan menarik perihal Jack the Ripper adalah Pangeran Albert Victor, putra Raja Edward VII dan cucu Ratu Victoria. Di kalangan keluarganya ia dikenal dengan nama Eddy dan ia merupakan penerus tahta di garis ke dua pada saat wafatnya karena influenza pada usia 28 tahun.
Pada 1970, dokter Thomas Stowell dari Inggris menerbitkan tulisan yang mengarah kepada Eddy yang telah melakukan pembunuhan selagi dalam keadaan tidak waras yang disebabkan oleh penyakit sipilis yang parah.
Tuduhan yang agak menyeramkan ini mengguncang pers internasional dan beberapa pencinta teori konspirasi terus menjajaki apakah pria yang seharusnya menjadi raja itu adalah seorang pembunuh berantai paling terkenal sepanjang sejarah.
Sejumlah catatan resmi, tulisan di koran, dan sejumlah sumber lain merujuk kepada pertanda bahwa pangeran itu sama sekali tidak berada di dekat Whitechapel ketika para korban kejahatan tewas.
Montague John Druitt
Pada 9 November 1888, tujuh minggu setelah peristiwa pembunuhan ke lima dan sekaligus yang terakhir, jasad pengacara lulusan Oxford ini ditemukan mengapung di sungai Thames dengan kantong-kantong pakaian yang berisi sejumlah batu. Para penyidik menyimpulkan penyebab kematian sebagai tindakan bunuh diri dan jasad itu diduga telah berada di dasar sungai selama beberapa minggu.
Montague John Druitt mengalami sejumlah krisis pribadi di tahun 1880-an, termasuk pemecatannya sebagai guru di suatu sekolah asrama. Para penulis masa kini memandang hal tersebut sebagai bukti perilaku homoseksual pria itu. Belum lagi kematian ayahnya dan penyakit mental ibunya yang menyebabkan sang ibu harus masuk panti perawatan.
Walaupun tidak ada bukti kuat yang mengkaitkannya dengan pembunuhan oleh Jack the Ripper, rangkaian kejahatan itu terhenti setelah kematiannya sehingga pada 1894 detektif kota London yang bernama Melville Leslie Macnaghten memasukan pengacara itu dalam daftar 3 orang teratas yang menjadi tersangka.
Advertisement
Walter Sickert
Pria yang lahir di Jerman pada 1860 ini dibesarkan di Inggris dan menjadi pelukis impresionis yang dihormati yang berpengaruh dalam dunia seni Inggris. Di awal 1900-an, ia menimbulkan kagaduhan ketika menampikan karya di mana seorang PSK telanjang berdampingan dengan para pelanggan yang berpakaian, termasuk satu lukisan yang tentang seorang pria sedang melingkarkan tangannya di leher sang wanita.
Ia sangat tertarik dengan kasus Jack the Ripper, terutama sewaktu menyewa kamar yang dikatakan pernah dihuni oleh tersangka pembunuh itu. Pengalaman ini memberi ilham kepadanya untuk melukis “Kamar Tidur Jack the Ripper” pada 1907.
Novelis cerita pidana asal Amerika, Patricia Cornwell, menjadi penggagasnya melalui buku terbitan 2002 yang berjudul “Potret Seorang Pembunuh: Jack the Ripper – Kasus Selesai.”
Di dalam novelnya, penulis itu menjelaskan bagaimana ia dan tim sejumlah pakar menggunakan cara penyidikan dan teknik forensik modern untuk membeberkan kesalahan tak terbantahkan oleh Walter Sickert setelah melakukan analisa terhadap lukisan-lukisannya dan membandingkan DNA dengan sejumlah sampel yang ditemukan pada begitu banyaknya surat yang dikirimkan kepada polisi dengan tanda tangan “Jack the Ripper” selagi dan sesudah kejadian rentetan pembunuhan.
Banyak “Ripperologists”, istilah untuk peminat kasus Jack the Ripper, yang membantah pengakuan wanita itu dan mengatakan bahwa kebanyakan surat tersebut adalah tipuan. Belum lagi adanya kemungkinan kuat tentang keberadaan Walter Sickert di Prancis ketika pembunuhan-pembunuhan itu terjadi.
Robert Mann
Di tahun 2009, seorang sejarawan Inggris bernama Mei Trow mengumumkan bahwa, setelah dibantu dengan penelaahan forensik dan psikologis, ia akhirnya menyingkap misteri Jack the Ripper.
Mei Trow menunjuk kepada Robert Mann, seorang pegawai di rumah duka Whitechapel di mana jasad para korban dibawa untuk diperiksa. Berdasarkan cara pelaku memotong-motong korbannya, para ahli sudah lama menduga bahwa Jack the Ripper memiliki pengetahuan anatomi yang memadai.
Para ahli kriminologi masa kini juga yakin bahwa masa kecil pria itu berantakan dan status sosioekonominya rendah. Sungguh bertolak belakang dengan gambaran tentang penguntit kelas atas yang memiliki jas dan topi tinggi. Pria yang berusia 50-an itu menghabiskan masa kecilnya di penampungan orang miskin dan bertugas mengurusi jasad-jasad manusia setiap harinya, sehingga cocok dengan profil pembunuhnya.
Menurut penyidikan terkait pembunuhan Polly Nichols, yang diketahui sebagai korban pertama Jack the Ripper, Robert Mann malah menelanjangi jasad wanita itu. Menurut Mei Trow, tersangka itu melakukan hal demikian untuk mengagumi hasil karyanya.
Advertisement
Jill the Ripper
Beberapa tahun setelah kasus pembunuhan merebak, sejumlah orang, termasuk Sir Arthur Conan Doyle, sempat berpikir bahwa Jack the Ripper bukanlah seorang pria haus darah, tetapi seorang wanita maut (femme fatale) dalam arti sesungguhnya.
Satu-satunya tersangka wanita yang terpikirkan oleh pada detektif yang meyidik kasus ini adalah Mary Pearcey, seorang wanita berkebangsaan Inggris yang dihukum mati pada tahun 1890 karena membunuh istri dan anak kekasihnya dengan menggunakan pisau jagal.
Pada 2006, penyelidikan oleh Ian Findlay, seorang ilmuwan Australia, mengarah kepada hasil yang mendukung teori Jill the Ripper ini. Ilmuwan itu pergi ke London untuk mengumpulkan ludah dari sejumlah surat Jack the Ripper yang dianggap paling dapat dipercaya sebagai bukti.
Ia kemudian mengambil DNA dari sampel-sampel itu dan menggunakan teknologi maju untuk menciptakan sebagian profil tersangka. Walaupun hasilnya masih jauh dari kesimpulan, ada arahan bahwa sangat mungkin pengirimnya adalah seorang wanita. (Alx/Rie)
Baca Juga:
Misteri Identitas Pembunuh Legendaris Jack the Ripper Terkuak?