Liputan6.com, Jakarta - Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) mengeluhkan koordinasi kurang baik antara pelaku usaha dengan pemerintah, sehingga aturan maupun kebijakan yang diterbitkan sering tumpang tindih dan mempersulit gerak dunia usaha.
Ketua GAPMMI, Adhi Lukman mengutip survei ASEAN Business Outlook Survey 2016 oleh AMCHAM dan US Chambers of Commerce, Indonesia diprediksi menempati posisi terendah dibanding negara ASEAN lain dalam hal ketidakpuasan dunia usaha terhadap koordinasi pemerintah.
Advertisement
"Keterlibatan dunia usaha dalam pembuatan regulasi sangat rendah hanya 6 persen atau sama dengan Kamboja, negara kecil yang mau maju. Tapi kalah jauh dengan Malaysia 14 persen, Laos 15 persen, Thailand 38 persen, Vietnam 46 persen bahkan Singapura 59 persen," terang dia saat ditemui di kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jakarta, Jumat (25/9/2015).
Dalam hal ketidakpuasan dunia usaha terhadap koordinasi antar Kementerian, kata Adhi, Indonesia berada di posisi paling buncit dengan ketidakpuasan paling buruk di kawasan ASEAN. Persentasenya sampai 75 persen. Sementara ketidakpuasan dunia usaha di Brunei Darussalam 42 persen, Kamboja 67 persen, Laos 54 persen, Malaysia 36 persen, Myanmar 53 persen, Filiphina 38 persen, Singapura 29 persen, Thailand dan Vietnam masing-masing 46 persen serta 38 persen.
"Ketidakpuasan paling jelek sampai 75 persen di kawasan ASEAN, itu artinya sudah lampu kuning. Supaya kita hati-hati karena yang dibutuhkan dunia usaha adalah transparansi dan good governance," ujar Adhi.
Pelaku usaha, sambungnya, meminta pemerintah menderegulasi surat izin usaha perdagangan, tanda daftar perusahaan, izin usaha industri, tanda daftar industri, izin gangguan dan izin mendirikan bangunan.
Pemerintah, diharapkan dia, dapat mengikis waktu sehingga pemberian rekomendasi izin dan birokrasi kelurahan atau kecamatan lebih cepat dan menghindari bentuk penyimpangan.
Adhi menyebut, faktor kunci keberhasilan untuk memperkuat industri makanan dan minuman nasional, antara lain sinkronisasi kebijakan pemerintah, regulasi, koordinasi supaya industri dalam negeri punya daya saing di tingkat global.
Faktor lainnya, membenahi infrastruktur dan logistik, memperkuat industri hilir yang bernilai tambah, membangun kecintaan masyarakat terhadap produk dalam negeri, penegakkan hukum untuk menindak produk ilegal dan sebagainya.
"Kontribusi industri makanan dan minuman ke PDB mencapai 29-30 persen, sedangkan sumbangan pangan olahan sepertiga ke konsumsi masyarakat per kapita dengan jumlah 13 persen dari 50 persen. Jadi sangat besar potensi industri ini untuk dikembangkan," pungkas Adhi. (Fik/Ahm)