Liputan6.com, Jakarta - Tragedi Mina kembali terulang. Lebih dari 700 jemaah calon haji tewas dalam ritual lontar jumrah. 14 jemaah calon haji asal Indonesia ikut tewas dan lebih dari 800 orang luka-luka.
Jatuhnya kembali korban jiwa membuat Pemerintah Kerajaan Arab Saudi kembali dikritisi dalam pengaturan pelaksanaan ibadah haji, terutama pada tahun 2015 ini.
Advertisement
Musim haji 2015 pun kembali kelabu. Penanganan musibah mesin derek atau crane di Masjidil Haram dan angin yang merubuhkan maktab di Arafah belum usai, kini kembali musibah jemaah yang terinjak-injak di Mina. Musibah terjadi saat ritual lontar jumrah mulai dilakukan.
Kamis pagi lalu 24 September 2015 ketika umat Islam di seluruh dunia bersukacita merayakan Hari Raya Iduladha, ratusan jemaah haji meregang nyawa di Mina. Hari itu, sehari setelah mengikuti wukuf yang merupakan puncak haji, ribuan jemaah haji terjebak dalam arus lautan manusia di Mina sekitar 5 km dari Mekah.
Di salah satu ruas Jalan Al Arab 204, arus manusia itu tidak berjalan lancar. Pada titik sekitar 1,5 km menjelang Jamarat, arus manusia itu tersendat setelah sekelompok jemaah asal Afrika tiba-tiba berhenti di tengah jalan.
Entah kenapa ada yang menyebut begitu. Mereka bahkan berjalan melawan arah. Akibatnya sudah diduga, kekacauan terjadi dengan saling dorong dan saling sikut. Korban pun jatuh. Dalam lautan manusia tersebut, ribuan orang tak kuat menahan himpitan, terutama perempuan dan orang tua.
Jalan Al Arab 204 bukan jalur yang biasa dilalui oleh jemaah haji Indonesia untuk menuju Jamarat. Tapi nyatanya, ada juga jemaah Indonesia yang terjebak dalam musibah itu. Hingga Jumat 25 September 2015 malam, jemaah asal Indonesia yang wafat ada 3 orang. Seorang lainnya dalam kondisi kritis di RS An Nur Mekah.
Di Jalan Sultan Agung Nomor 2, Kota Batu, Malang, Jawa Timur, kabar duka telah sampai. Susiani adalah salah satu korban yang meninggal dunia. Almarhumah sempat tidak sadarkan diri karena mengalami sesak nafas setelah berhasil lolos dari tragedi.
Dugaan adanya jemaah Indonesia yang tidak disiplin muncul karena panitia perjalanan haji sebenarnya sudah melarang jemaah Indonesia melontar jumrah tanggal 10 Dzulhijjah pada jam 8 sampai jam 11. Hal itu dikarenakan saat itu adalah saat terpadat orang melontar jumrah,
Di tanah air, simpati atas jatuhnya para korban di Mina terus mengalir. Salat ghaib sebagai pengganti salat jenazah digelar diberbagai kota. Rasa duka mengalir dari anak-anak sampai wakil presiden.
Musim haji tahun 2015 yang penuh cobaan ini bukanlah musim haji pertama yang diwarnai air mata duka. Dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, terjadi beberapa musibah yang merenggut ribuan jiwa sebagian besar terjadi di Mina.
Pada 2 Juli 1990, sebanyak 1.426 jemaah haji wafat akibat berdesak-desakan dan terinjak di Terowongan Haratul Lisan, Mina. 631 orang di antara korban adalah jemaah asal Indonesia.
Dalam satu terowongan yang sama, ribuan jemaah yang pulang dan pergi bertemu mengakibatkan jemaah kehabisan oksigen, saling injak, dan ribuan korban tewas.
Musibah di Mina kemudian terjadi lagi pada 1998, 2001, 2003, 2004, 2006 yang merenggut ratusan jiwa. Dan terakhir terjadi lagi 24 September 2015 lalu. Terulangnya kembali tragedi mina yang menewaskan ribuan jemaah menyiratkan keprihatinan masyarakat.
Pemerintah Kerajaan Arab Saudi memang tidak berdiam diri membiarkan berulangnya tragedi tempat melempar jumrah Mina. Sejak 2006 atas perintah Raja Fahd bin Abdul Aziz, Gedung Jamarat direnovasi besar-besaran.
Di masa depan, bangunan untuk jumrah bisa ditambah menjadi 12 lantai yang bisa menampung 5 juta jemaah sekaligus. Tetapi apakah hal itu sudah cukup? Masyarakat pun urun pendapat agar kejadian serupa tidak terulang.
"Kalau bisa sih disediakan jalan khusus bagi lansia, bagi orang-orang yang sudah tidak kuat berjalan sendiri," ujar salah seorang warga.
Saksikan rangkuman Kopi Pagi (Komentar Pilihan Liputan 6 Pagi) selengkapnya yang ditayangkan Liputan 6 Pagi SCTV, Minggu (27/9/2015), di bawah ini. (Vra/Yus)