Liputan6.com, Paris - Setelah hampir 3 minggu memata-matai kelompok Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS di Suriah, Prancis akhirnya melancarkan serangan udara perdananya.
Serangan ini diumumkan Presiden Francois Hollande sehari sebelum pertemuan pemimpin dunia di PBB, membahas nasib perang Suriah.
Advertisement
Serangan ini ditujukan ke beberapa target penting setelah misi mata-mata dilakukan pada 8 September lalu. Meski tak ada kejelasan target, keterangan resmi militer Prancis mengatakan mereka telah menyerang lokasi pelatihan ISIS dan logistik, seperti dikutip dari The Guardian Minggu (27/9/2015)
Pemerintah Prancis bersikukuh meskipun mereka bagian dari koalisi yang dipimpin AS, negeri ini memutuskan siapa dan apa yang harus diserang secara independen.
"Kami akan serang kapan pun dan apa pun yang membahayakan keamanan nasional negara kami," tulis pernyataan kantor Presiden Prancis. Hal ini sedikit bertentangan dengan keterangan sebelumnya yang memilih untuk memata-matai daripada menyerang secara langsung.
Keputusan ini datang sesaat setelah krisis pencari suaka di Eropa dan foto yang membuat dunia terhenyak saat Alan Kurdi tewas tenggelam dan ditemukan di pantai Turki. Namun, beberapa ahli berpendapat, serangan udara Prancis ini dipengaruhi oleh serangan yang dilakukan oleh terduga pelaku teroris di kereta cepat eksekutif yang melayani rute Amsterdam Paris bulan lalu.
Target Intelijen Prancis
Operasi mata-mata di Suriah selama beberapa minggu terakhir adalah upaya Paris menargetkan orang-orang yang bisa merencanakan serangan teroris di Prancis.
Keputusan untuk melakukan serangan udara menunjukkan bagaimana strategi Prancis terhadap Suriah telah berkembang. Sampai saat ini, Prancis telah menembakkan serangan udara pada ISIS hanya di Irak sebagai bagian dari koalisi pimpinan AS sejak tahun lalu, dan telah menolak serangan udara di Suriah karena tidak ingin terlihat untuk memperkuat Presiden Bashar al-Assad.
Paris, sebagai mantan penguasa kolonial di Suriah, telah menjadi salah satu kekuatan Barat yang paling vokal di Damaskus dari awal krisis. Dua tahun lalu, Prancis mendorong aksi militer terhadap Assad, memutuskan untuk "menghukum" Damaskus atas penggunaannya senjata kimia pada rakyat Suriah, tetapi langkah ini saat itu tidak didukung oleh koalisi internasional.
Bulan ini, Presiden Prancis mengesampingkan pengiriman pasukan darat ke Suriah dan mengatakan tak ada yang dapat dilakukan untuk memperkuat Assad, atau membantunya tetap berkuasa. "Pada akhirnya, Assad harus pergi," kata Hollande.
"Populasi sipil harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan, baik itu dari ISIS dan kelompok teroris lainnya, tetapi juga pengeboman oleh Bashar Assad," ucap Hollande.
Hasil Jajak Pendapat
Jajak pendapat menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Prancis setuju dengan aksi militer di Suriah.
Namun di Kementerian Luar Negeri Prancis, menekankan politik dan diplomasi sebagai satu-satunya solusi yang mungkin untuk mengatasi krisis.
Iran dan Rusia telah memberikan dukungan yang kuat untuk Assad, dianggap oleh negara-negara AS dan Eropa termasuk Prancis, sebagai penghasut perang saudara yang menewaskan 250.000 penduduk mati dan membiarkan sebagian besar negaranya berada di tangan ISIS.
Rusia, sementara itu, telah membuat Barat gerah dengan memperkuat kehadiran militernya di Suriah dalam beberapa pekan terakhir.
Menjelang pertemuan PBB, Menlu AS, John Kerry, bertemu rekan Iran-nya, Mohammad Javad Zarif, pada Sabtu lalu untuk membahas Suriah.
Washington menolak untuk menerima proses perdamaian yang hanya akan membuat Assad tetap berkuasa. (Rie/Ans)