Liputan6.com, Kathmandu Pemerintah Nepal dalam waktu dekat akan melarang para pendaki pemula, penyandang disabilitas, lanjut usia dan remaja untuk mendaki Gunung Everest. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan keamanan serta mengurangi banyaknya jumlah pendaki.
Selain itu, Nepal ingin mempertahankan "kemegahan" puncak gunung itu, dengan tidak menambah jumlah kematian akibat kurangnya pengalaman pendaki.
Advertisement
Menteri Pariwisata Nepal, Kripasur Sherpa menjelaskan bahwa ia berharap akan menerapkan aturan ini di musim semi mendatang, di mana ratusan pendaki gunung dari seluruh dunia mencoba menaklukan puncak gunung setinggi 8.848 meter itu. Ini merupakan puncak paling tinggi di seluruh dunia.
Izin mendaki Everest hanya akan diberikan kepada mereka yang pernah menaklukan gunung-gunung di ketinggian lebih dari 6.500 meter, kata keterangan resmi pemerintah. Para penyandang disabilitas, orang lanjut usia, remaja dan anak-anak dilarang mendaki.
"Kami tidak bisa membolehkan siapa saja naik ke Everest dan meninggal. Apalagi jika mereka secara fisik dan mental tidak sehat. Itu sama saja bunuh diri legal," jelas Kripasur, seperti dikutip dari The Guardian, Senin 28 September 2015.
"Penyandang cacat atau orang dengan keterbatasan penglihatan biasanya membawa seseorang untuk membantu mereka ke atas. Dan ini sama sekali bukan petualangan. Hanya mereka yang bisa membawa diri mereka, yang akan kami berikan izin untuk mendaki," tambahnya.
Pemberian izin akan menghabiskan ribuan dolar dan bisa menjadi sumber pemasukan bagi Nepal. Hanya saja, belum jelas bagaimana "bukti kompetensi" dapat diperoleh.
Profesional Hingga Amatir.
Everest pertama kali ditaklukan oleh Sir Edmund Hillary dan Tenzing Norgay pada tahun 1953. Semenjak saat itu, gunung itu menuai banyak kontroversi. Salah satunya adalah ramainya orang di puncak gunung itu.
Setiap tahun 600 pendaki datang ke Nepal untuk menguji kemampuannya mendaki Everest. Hal ini menciptakan industri wisata luar biasa namun juga membawa masalah seperti penuh sesaknya orang-orang di kawasan itu.
Junko Tabei, sebagai wanita pertama yang menaklukan Everest tahun 1975 mengekspresikan kekhawatirannya minggu lalu atas jumlah pendaki yang luar biasa di puncak gunung itu.
"Membolehkan jumlah besar pemancat gungung di musim pendakian membawa risiko tinggi pada lingkungan gunung itu termasuk juga para pendaki," kata Tabei.
Pada dasarnya, telah banyak rencana untuk mengurangi jumlah pendaki dan membuat gunung tersebut aman untuk didaki.
Namun, melarang orang di bawah usia 18 tahun atau di atas 75 tahun juga penyandang disabilitas tidak akan berdampak bagi angka pendaki, karena orang-orang tersebut sangat jarang mendaki Everest.
Pendaki pertama disaabilitas dilakukan pada tahun 1998. Tahun 2001, pendaki dengan keterbatasan penglihatan berhasil mencapai puncak Everest.
Puncak gunung ini juga pernah ditaklukan oleh pendaki usia 13 tahun dan 80 tahun.
Ide ini disambut baik oleh Asosiasi Pendaki Nepal, Ang Tshering Sherpa. Meskipun, ide ini cukup lama telah dibicarakan.
"Saya agak ragu akan segera diimplementasikan. Rencana ini pernah ditentang oleh organisasi hak asasi manusia dan kedutaan asing," kata Ang Tshering.
Namun ia mendukung penyandang disabilitas selama bisa membawa dirinya ke puncak agar diperbolehkan mendaki. Hanya mereka yang benar-benar membutuhkan asisten yang kalau bisa, tidak diperbolehkan naik.
Ia juga mendukung pembatasan umur. "Sebuah langkah baik. China telah melakukan hal yang sama bagi pendaki di bawah 16 tahun dan lebih dari 75 tahun yang mengambil jalur utara." tutupnya. (Rie/Ein)