MK: Calon Tunggal Dipilih dengan Setuju atau Tidak Setuju

Majelis mempertimbangkan demikian, sebab pilkada yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon harus ditempatkan sebagai upaya terakhir.

oleh Oscar Ferri diperbarui 29 Sep 2015, 17:09 WIB
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang putusan UU No Tahun 2015 tentang Pilkada di Gedung MK, Jakarta, Selasa (29/9). MK memperbolehkan daerah dengan calon tunggal untuk melaksanakan pilkada serentak pada Desember mendatang (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 49 ayat (8) dan (9), Pasal 50 ayat (8) dan (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), serta Pasal 54 ayat (4), (5), dan (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada (UU Pilkada).

Permohonan ‎itu diajukan Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suryandaru yang mempermasalahkan syarat minimal 2 pasangan calon untuk bisa digelarnya pilkada. ‎Effendi dan Yayan dalam permohonannya meminta MK agar mengabulkan tawaran solusinya terhadap permasalahan pasangan calon tunggal, yakni pasangan calon tunggal melawan kotak kosong.

"Namun, Majelis Hakim Konstitusi tidak sependapat dengan pandangan pemohon yang meminta Mahkamah memaknai bahwa frasa 'setidaknya 2 pasangan calon' atau 'paling sedikit 2 pasangan calon' yang terdapat dalam seluruh pasal yang dimohonkan pengujian dapat diterima dalam bentuk atau pengertian, pasangan calon tunggal dengan pasangan calon kotak kosong yang ditampilkan pada kertas suara," ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam pembacaan amar putusan di Ruang Sidang Utama, Gedung MK, Jakarta, Selasa (29/9/2015).

Majelis mempertimbangkan demikian, sebab pilkada yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon harus ditempatkan sebagai upaya terakhir. Hal itu semata-mata demi memenuhi hak konstitusional warga negara, setelah sebelumnya dengan syarat paling sedikit 2 pasangan calon.

Hakim MK kemudian berpendapat, pilkada yang hanya diikuti oleh pasangan calon tunggal, manifestasi kontestasinya lebih tepat apabila dipadankan dengan plebisit yang meminta rakyat sebagai pemilih untuk menentukan pilihannya dengan mekanisme 'setuju' atau 'tidak setuju' dengan pasangan calon tunggal tersebut. Bukan dengan pasangan calon kotak kosong sebagaimana dikonstruksikan oleh pemohon.

Apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih 'setuju', maka pasangan calon dimaksud ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Sebaliknya, apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih 'tidak setuju', maka pemilihan ditunda sampai pilkada serentak berikutnya.

"Penundaan demikian tidaklah bertentangan dengan konstitusi, sebab pada dasarnya rakyatlah yang telah memutuskan penundaan itu melalui pemberian suara 'tidak setuju' tersebut," ucap Suhartoyo.

Lebih Demokratis

Mekanisme demikian, menurut Mahkamah lebih demokratis dibandingkan dengan menyatakan 'menang secara aklamasi' tanpa meminta pendapat rakyat jika pasangan calon tidak memiliki pesaing. Penekanan terhadap sifat 'demokratis' ini menjadi substansial karena merupakan perintah konstitusi, dalam hal ini Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.

"Dengan mekanisme (setuju dan tidak setuju) itu, amanat konstitusi yang menuntut pemenuhan hak konstitusional warga negara, dalam hal ini hak untuk dipilih dan memilih, serta amanat agar pilkada dilaksanakan secara demokratis dapat diwujudkan," ujar Suhartoyo.

Sebagai informasi, UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada (UU Pilkada) digugat oleh pakar komunikasi politik UI Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suryandaru.‎ Mereka mempermasalahkan Pasal 49 ayat (8) dan (9), Pasal 50 ayat (8) dan (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), serta Pasal 54 ayat (4), (5), dan (6)‎ UU Pilkada yang mengatur syarat minimal 2 pasangan calon dalam pilkada. Effendi dan Yayan menilai, berlakunya pasal-pasal itu telah merugikan hak konstitusional rakyat selaku pemilih dalam pilkada. (Ado/Ein)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya