Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan agar penegak hukum harus mendapat izin presiden jika ingin memeriksa anggota DPR, MPR, dan DPD.
Hakim Konstitusi menyatakan, frasa persetujuan tertulis dalam Pasal 245 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai persetujuan presiden.
Advertisement
Pakar Hukum Tata Negara Rifqinizamy Karsayuda menilai, dengan keputusan MK itu sebaiknya Presiden Jokowi membuat Peraturan Presiden (Perpres) terkait bagaimana mekanisme pemberian persetujuan, apa saja indikatornya, termasuk berapa waktu yang dibutuhkan untuk pemberian itu.
Dengan menerbitkan Perpres, kekhawatiran Presiden akan menggunakan subjektifitasnya untuk memberikan persetujuan secara tebang pilih, bisa diminimalisir.
"Perpres itu akan membantu pemerintahan Jokowi menjalankan penegakan hukum sebagaimana perintah putusan MK," kata Rifqi di Jakarta, Selasa (29/09/2015).
Dia berujar, Presiden Jokowi memang akan diuji komitmen penegakan hukumnya dengan kewenangan ini. Misalnya, apakah jika yang menjadi tersangka adalah anggota DPR dari parpol koalisi pemerintah, Jokowi akan segera keluarkan persetujuan. Demikian sebaliknya, jika yang menjadi tersangka adalah anggota DPR dari parpol oposisi pemerintah.
"Kekhawatiran tebang pilih pemberian persetujuan inilah menjadi urgensi lain agar Perpres terkait persetujuan Presiden bagi anggota DPR yang dalam proses hukum diperlukan," ujar dia.
Menurut peraih Doktor di Universitas Brawijaya ini, persoalan serupa yang tak kalah penting ialah agar Menteri Dalam Negeri (Mendagri) segera membuat peraturan serupa. Sebab jika ada anggota DPRD yang dalam proses hukum, maka harus ada peraturan Mendagri.
"Hal ini mengingat kewenangan serupa yang juga diberikan Mendagri jika ada anggota DPRD yang dalam proses hukum," tandas Rifqi. (Ali/Dan)