Liputan6.com, Seoul - Bagi Lee Yong-nyo, 87 tahun, reuni ini mungkin adalah reuni terakhir dengan anaknya, yang ia tak pernah temui setelah berpuluh-puluh tahun. Namun, keinginannya kandas, hanya karena klik mouse komputernya.
Palang Merang menggunakan algoritma komputer di Seoul dengan sistem lotere siapa yang akan terpilih untuk bertemu sanak keluarganya di Korut yang telah terpisah akibat Perang Korea 1950-1953. Reuni yang sedianya diadakan 20 hingga 26 Oktober mendatang ini, hanya diberi kesempatan bagi 100 orang saja.
Advertisement
Sementara itu, lebih dari 66 ribu orang di Korsel mendaftar untuk reuni ini.
"Hati saya sedih luar biasa," kata Lee sambil menghapus air matanya, seperti ia ceritakan kepada Reuters, Selasa 28 September 2015. Ia gagal mengikuti 'undian' yang diadakan oleh Palang Merah.
"Aku ingin bertemu anakku, atau setidaknya aku tahu dia hidup atau tidak. Aku tinggalkan dia ketika umur tiga tahun. Kapan lagi aku bisa bertemu dia lagi kalau tidak sekarang?" isaknya.
Reunifikasi ini adalah sebuah tanda penting bagi kedua negara yang secara teknis masih dalam keadaan perang. 19 reuni telah dilakukan semenjak tahun 2000, dan yang terakhir, dilakukan pada Februari 2014.
Pengambilan undian dilakukan secara acak, dari 66 ribu aplikasi, Palang Merah mengambil 500. Lalu, organisasi ini mereduksi hingga 250 dengan mencocokkan kesehatannya dan apakah mereka masih ingin pergi atau tidak.
Setelah itu, pihak otoritas di Korea utara lantas mencari keluarga tersebut. Sayangnya, mereka hanya memilih 100 orang saja untuk bertemu. Prioritas adalah bagi para keluarga lanjut usia.
Hal ini dikritik oleh mantan hakim di Pengadilan Tinggi PBB, Michael Kirby.
Ia menjelaskan proses undian tersebut adalah sebuah metode yang salah untuk reunifikasi yang telah dinanti-nantikan ini. Terlebih, dari 66 ribu aplikasi, dipilih oleh Korsel hanya 250 dan Korut mengurangi angka itu hingga hanya 100 keluarga saja.
"Hanya 100 orang? Sisanya bagaimana? Akan banyak, banyak sekali kematian sebelum seluruh pertemuan keluarga ini terlaksana," kata Kirby seperti dikutip ABCnet.au.
"Aku tak tahu bagaimana rasanya. Hatiku kosong," kata Jung se-hoon, pria berusia 85 tahun yang mencari ibunya serta 3 adik-adiknya. Jung bahkan tidak bisa menggunakan komputer untuk mendaftar.
Pengawasan Ketat
Dan, buat yang terpilih pun, kemenangan seperti buah simalakama.
Kang Neung-hwan adalah salah satu dari 82 Korsel yang terpilih untuk mengunjungi Utara pada Februari 2014. Ia akhirnya bertemu anaknya laki-lakinya yang ia tidak pernah jumpai dan mungkin tak akan pernah ia temui lagi.
"Aku berharap pertemuanitu berlangsung 10 hari atau dua minggu. 3 hari itu terlalu cepat," kata Kang yang berusia 94 tahun dan kesehatannya makin menurun. Ia berbicara di rumahnya di Seoul, di mana foto-foto anaknya itu betebaran di dinding.
Kang bercerita, pertemuan itu diadakan disebuah ballroom di sebuah hotel, dijaga oleh pihak otoritas dan media Korut. Tidak hanya pertemuan umum, tapi perjumpaan pribadi selama dua jam pun berada di bawah pengawasan.
Kang dahulu adalah seorang guru ketika ia bergabung ke Utara saat berperang dengan China. Ia meninggalkan istrinya yang ia baru nikahi selama 4 bulan dan berjanji akan akan kembali. Kang tak tahu bahwa istrinya tengah hamil, dan saat itu, perbatasan telah ditutup.
Ketika ia melamar reuni ia berharap akan bertemu adik perempuannya yang hilang. Kang mengetahui bahwa adiknya telah hilang, namun terkejut, ia bertemu dengan anak laki-lakinya.
"Aku memeluknya dan berkata, 'sehat terus dan aku berharap akan ada unifikasi lain sebelum aku mati dan semoga kita bertemu lagi,'" tuturnya.
Advertisement
Rambu-rambu yang Harus Dipatuhi
Buku pedoman untuk keluarga dari Korsel menuliskan rambu-rambu penting untuk dipatuhi. Antara lain, tidak bertanya apakah keluarga mereka makan dengan baik, tidak bercerita tentang politik dan memperingati mereka bahayanya minuman keras Korut.
Lee Chang-juk yang mengikuti reunifikasi tahun lalu merasakan betapa pengawasan ketat dan penuh propaganda.
Awalnya, Lee ingin bertemu kakak beradiknya yang ia tinggalkan kabur ke Selatan saat prang. Namun, yang ia temukan adalah keponakannnya. Mereka bercerita tentang keluarganya di kampung halamnnya.
"Kontras dengan ekspektasiku, mereka di Korut punya kehidupan baik dan nyaman. Syukurlah," kata Lee kepada VOANews, Rabu (30/9/2015)
"Namun, aku merasa kedua keponakanku tidak berkata jujur sepenuhnya. Mereka berkali-kali memuji Kim Jong-un atas suksesnya reuni tersebut," ujar Lee.
"Ada banyak wartawan dari Korut yang siap setiap saat kata Kim Jong-un diucapkan dan semua orang berkata 'hore'. Mereka juga siap membidik kamera saat kami disuruh membuat ucapan terima kasih kepada Kim. Tapi aku tak melakukan itu semua," kenang Lee. (Rie/Ein)