Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menerapkan ambang batas, dengan selisih perolehan suara maksimal antara 0,5-2 persen untuk dapat mengajukan gugatan sengketa hasil pilkada. Bila selisih di atas angka tersebut maka gugatan tidak akan diproses MK.
Hal ini pun dianggap Setara Institute dapat meningkatkan potensi kecurangan pilkada mendatang.
"Kandidat yang menghalalkan segala cara dapat melakukan mobilisasi kecurangan untuk memperbesar selisih hasil perhitungan suara di atas 2 persen, karena MK tidak akan memeriksa kecurangan sebagai pelanggaran serius," kata Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani, di Jakarta, Rabu (30/9/2015).
Menurut Ismail, ketentuan selisih ambang batas pengajuan gugatan tersebut tidak masuk akal. Ia menyebut aturan itu mempersulit pencari keadilan di negara demokrasi.
"Ketentuan tidak masuk akal, penyelenggara pemilu dianggap seperti malaikat yang margin eror hanya 0,5-2 persen. Calon incumbent atau mereka yang melakukan politik dinasti akan lakukan kecurangan karena tidak akan diperiksa melalui struktur TSM (terstruktur, sistematis, dan masif). Mereka akan naikkan selisih di atas ambang batas," tegas Ismail.
Peneliti Setara Institute Halili menambahkan kandidat yang mau menggugat hasil pilkada hanya diberi waktu 3 hari untuk mengajukan gugatannya. Hal itu dianggap terlalu memaksakan.
"Soal ambang batas waktu ini serius karena 3 hari menurut kami tidak masuk akal untuk persoalan akses komunikasi dan transportasi," tutur Halili.
Meski demikian, Halili memahami bahwa aturan ambang waktu itu sebagai bentuk pertahanan MK agar tidak menghadapi gelombang perkara pilkada. Apalagi MK hanya memiliki 9 hakim untuk memutus semua perkara dalam masa 45 hari persidangan.
"Dismissal process akan semakin memperkecil jumlah perkara dan menyediakan waktu lebih lama bagi MK untuk memenuhi bukti secara cermat terhadap perkara," tandas Halili.
Mahkamah Kalkulator
Setara Institute menilai peran Mahkamah Konstitusi tidak berbeda dengan mahkamah kalkulator dalam proses peradilan hukum pikada serentak 2015 mendatang. Hal ini disebabkan MK hanya mengurus sengketa tentang selisih suara hasil penghitungan suara yang dihasilkan KPUD.
"MK akan fokus jadi mahkamah kalkulator karena tegas hanya mengadili sengketa, tidak periksa potensi kecurangan terjadi walau berdampak pada hasil pilkada. Ini kemunduran dalam pemilihan kepala daerah," kata Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani.
Ismail menjelaskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, proses penanganan hukum pilkada serentak terbagi menjadi 6, yakni pelanggaran kode etik penyelenggara pemilihan ditangani DKPP, pelanggaran administrasi ditangani KPU, dan sengketa pemilihan oleh Bawaslu.
Sementara, sengketa tata usaha negara ditangani PTTUN, pelanggaran tindak pidana ditangani penegak hukum terpadu, dan sengketa hasil pilkada oleh MK.
Menurut Ismail, peradilan sengketa di MK hanya buang-buang waktu. Sebab, lembaga tersebut hanya memilih jalan pragmatis dan ingkar atas terobosan yang pernah dibuatnya terkait jenis pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
"Peradilan sengketa 2015 hanya basa-basi karena tidak menelisik kenapa calon ini menang dan seterusnya. Dulu kerbau dibawa ke MK karena dijadikan suap. Jangan dibayangkan ada pemilihan ulang besok, atau jangan bayangkan orang bisa menang lebih karena MK tidak lihat bukti kecurangan itu," tegas dia.
"Peran MK hanya ditujukan untuk memenuhi ketentuan formal keberadaan mekanisme dan prosedur peradilan pilkada," tandas Ismail. (Alv/Mut)
Advertisement