Liputan6.com, Jakarta - Peristiwa Gerakan 30 September 1965 mungkin tidak akan lekang dimakan waktu. Peristiwa itu menjadi salah satu kejadian kelam yang pernah tercatat dalam sejarah Indonesia yang pada akhirnya menuliskan bagaimana perubahan terjadi di Tanah Air.
Amelia Ahmad Yani, putri ketiga Jenderal Ahmad Yani, mencoba mengingat kembali peristiwa kelam terjadi di malam 30 September 1965 itu. Ia bercerita saat menghadiri peringatan G30S di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur, Rabu (30/9/2015).
Saat itu, Amelia masih sangat kecil untuk melihat ayahnya diberondong peluru pasukan Cakrabiwara (sekarang Pasukan Pengaman Presiden/Paspampres). Ketika itu, dalam keheningan pagi pukul 04.00, mereka memasuki rumah Ahmad Yani dan menculiknya.
"Ahmad Yani diculik, hanya pakai piyama. Beliau sempat melawan dan ditinju prajurit Cakrabirawa, Ahmad Yani langsung berbalik cepat, keluar lewat jendela, lalu ditembus tujuh peluru beruntun," kata Amelia.
Melihat ayahnya diberondong peluru, semua anggota keluarga yang ada saat itu menjerit histeris. Ahmad Yani diseret begitu saja dengan darah yang mengalir dari luka-luka akibat tembakan.
"Sampai di pintu belakang kami diadang. Kami dihardik untuk masuk ke rumah, atau ditembak. Senapan sudah dikokang. Yang jaga di rumah Garnisun hanya melongo. MT Haryono juga ditembak di depan istri dan putra-putrinya," ucap Amelia.
Pedih tentu rasanya melihat kepala keluarga mereka diperlakukan seperti itu. Padahal, Ahmad Yani bukan perwira sembarangan. Dia adalah Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pangab/sekarang Panglima TNI) ketika itu.
Tidak cuma Ahmad Yani, lima perwira tinggi serta satu perwira muda ABRI juga jadi korban penculikan. Sama dengan Ahmad Yani, nyawa mereka juga melayang di tangan pasukan Cakrabirawa. Jasad mereka kemudian dibuang ke sumur sempit sedalam 12 meter di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur.
"Kami hanya bisa mendengarkan dari radio, disiarkan bahwa Ahmad Yani adalah pengkhianat negara. Prajurit yang membunuh tentara dinaikkan pangkatnya 1 tingkat ketika itu, sedangkan radio Australia mengatakan ayah kami belum ditemukan," kata Amelia.
Barulah pada Senin, 4 Oktober 1965, sekitar pukul 07.00 jasad para perwira ABRI itu diangkat dari sumur. Jasad-jasad yang sudah membusuk itu diangkat oleh prajurit Korps Komando (KKO/sekarang Marinir) Angkatan Laut.
Advertisement
Forum Silaturahmi Anak Bangsa
Kenangan pahit peristiwa di malam kelam itu menimbulkan bekas mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Termasuk Amelia. Bahkan Amelia mengakui, tak semua anggota keluarga Ahmad Yani menerima kekejaman tersebut sampai sekarang.
"Keluarga saya ada yang tidak bisa menerima karena kekejaman sangat tergambar dan terlihat," kata Amelia.
Meski begitu, bukan berarti Amelia membenci seluruh keluarga dan sanak saudara yang dituding terlibat G30S. Beberapa kali Amelia juga kerap bertemu mantan tahanan politik (tapol) peristiwa 1965. Bagi Amelia, pertemuan itu penting sebagai bentuk terjalinnya tali silaturahmi.
"Saya pribadi ya ketemu dengan mantan tapol. Istilah kami bukan rekonsiliasi, tapi silaturahmi biar tanpa tuntutan," ucap Amelia.
Tak berhenti di situ. Para keluarga dan kerabat 7 Pahlawan Revolusi itu beserta para keluarga bekas tapol 1965 sepakat untuk berhimpun dalam suatu wadah. Wadah itu kemudian diberi nama Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB).
Di mata Amelia, semuanya adalah korban dari tragedi 30 September 1965. Termasuk para keluarga dari mereka yang ikut kena imbas dari "titah" penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI) pascaperistiwa 30 September 1965 tersebut.
"Kita semua korban. Dalangnya adalah PKI. Kita semua merasakan kepedihan yang amat sangat," ucap Amelia.
Dengan FSAB ini, Amelia bersama anak cucu keluarga bekas tapol 1965 banyak berkunjung ke berbagai tempat. Misalnya ke Pulau Buru, pulau di utara Maluku yang pascaperistiwa 30 September 1965 menjadi rumah tahanan bagi para tapol. Para tapol itu ditempatkan di pulau yang belum terjamah tangan manusia ketika itu karena dianggap terlibat atau berafiliasi ke PKI.
"Saya ke Pulau Buru, anak-anaknya PKI pada ngumpet, takut. Setelah saya bilang saya juga anak korban peristiwa G30S/PKI mereka baru keluar," ucap Amelia.
Ketakutan dari keluarga eks tapol 1965 ini menjadi wajar. Itu karena mereka kerap terintimidasi dari lingkungan sekitar. Dicap "anak PKI" atau "anak pengkhianat negara". Padahal, bagi Amelia, mereka hanya kena imbas akibat peristiwa yang sudah berpuluh-puluh tahun terlewatkan itu.
"Kita tidak bicara rehabilitasi. Tapi anak cucu mereka (tapol 1965) yang mendapat imbasnya. Mereka selalu dibilang 'anak PKI', 'pengkhianat'. Itu menyebabkan mereka ketakutan," kata Amelia.
Tentu, cap negatif kepada mereka seolah tidak bisa hilang sampai saat ini. Kata Amelia, banyak dari mereka yang sampai kini tidak berani bertemu dengan orang-orang. Apalagi, masih banyak KTP mereka yang diberi "label" khusus, seakan diberi tanda bahwa mereka bukan warga biasa.
"Jangan ada pembiaran, banyak dari mereka tidak berani ketemu orang. Anak cucunya sekian tahun merasa seperti itu," kata Amelia. (Mvi/Ali)*
Advertisement