Ini Perhitungan Upah Minimum yang Paling Ideal versi BPS

Basis perhitungan ini diyakini tingkat kesejahteraan buruh tercapai sehingga tak perlu lagi terjadi keributan perhitungan upah tiap tahun.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 02 Okt 2015, 08:01 WIB
Ilustrasi Upah Buruh (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan perhitungan upah minimum yang paling ideal adalah inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi. Dengan basis perhitungan tersebut, Lembaga ini meyakini tingkat kesejahteraan buruh sudah tercapai sehingga tak perlu lagi terjadi keributan perhitungan upah setiap tahun.

Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa BPS, Sasmito Hadi Wibowo mengungkapkan, sistem Indeks Harga Konsumen (IHK) atau inflasi dibangun oleh Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO). Inflasi, sambungnya merupakan gambaran biaya hidup pekerja secara riil.

"Sebenarnya tidak usah susah-susah, inflasi itu gambaran pengeluaran kita semua berbasis rumah tangga. Gunakan saja inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi. Itu yang paling ideal, semua tidak ada yang dirugikan," tegas dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Jumat (2/10/2015).

Sasmito mencontohkan, jika inflasi teralisasi 4 persen tahun ini, maka perusahaan dapat menaikkan gaji buruh atau pekerja sebesar 4 persen. Namun apabila perusahaan menginginkan tingkat kesejahteraan buruh lebih tinggi, maka ditambah pertumbuhan ekonomi misalnya tercapai 5 persen di 2015.

"Jadi tingkat kesejahteraan naik 5 persen. Kalau mau lebih tinggi lagi tergantung perusahaannya mampu tidak. Tidak perlu ribet lagi bikin survei Komponen Hidup Layak (KHL)," paparnya.  

Menurut dia, perhitungan upah berdasarkan inflasi plus pertumbuhan ekonomi bukanlah kebijakan upah murah seperti yang disuarakan para buruh tanpa perhitungan KHL.

"Sekarang nih deflasi 0,05 persen, berarti biaya hidup kita turun segitu. Gaji kita kan tetap, kesejahteraan naik sedikit. Tapi kalau misalnya inflasi 1 persen, tingkat kesejahteraan turun 1 persen," kata Sasmito.

Seperti diketahui, para buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak langkah pemerintah menyusun formula khusus kenaikan upah setiap tahun untuk menghindari gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Formula penyesuaian upah sesuai inflasi ditambah alfa Produk Domestik Bruto (PDB).

Presiden KSPI, Said Iqbal mengatakan, di tengah turunnya daya beli buruh akibat pelemahan kurs rupiah dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada November lalu, pemerintah seharusnya melindungi kaum buruh bukan malah memiskinkan mereka dengan penetapan formula upah tersebut.

"Lindungi buruh dari ancaman PHK dengan menguatkan kurs rupiah, bukan malah membuat buruh makin miskin lewat kebijakan upah murah. Pemerintah letoi menghadapi dolar, kok beraninya cuma instan menekan buruh dengan upah murah seperti rentenir saja," tegas dia.

Tuntutan lain dari buruh, kata Said, mendesak pemerintah membangkitkan kembali daya beli buruh. Caranya, sambung dia, melalui penurunan harga BBM dan menaikkan upah minimum 22 persen pada tahun depan.

Dia menegaskan, buruh menolak usulan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla dan Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri atas formula kenaikan upah setiap tahun itu karena bertentangan dengan Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003.

"Kami menolak keras usulan Wapres atas formula upah inflasi ditambah alfa PDB karena bertentangan dengan UU tersebut yang menyatakan upah minimum ditentukan berdasar survei kebutuhan hidup layak (KHL), bukan formula baru," ucap Said.

Bahkan buruh mengancam akan melakukan mogok massal apabila pemerintah tetap melanjutkan rencana pemberlakuan formula baru kenaikan upah buruh. "Bila pemerintah tetap memaksakan, serikat buruh akan melakukan pemogokan umum," tandas Said. (Fik/Ndw)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya