Liputan6.com, Jakarta - Industri tekstil dalam negeri meminta pemerintah mengubah sistem upah minimum provinsi (UMP) bagi para pekerja di masing-masing wilayah di Indonesia. Pengusaha tekstil meminta upah disamaratakan di setiap daerah.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G Ismi mengatakan, seharusnya besaran upah tersebut putuskan di tingkat pusat, bukan pada masing-masing daerah sehingga tidak ada perbedaan besaran upah yang signifikan antar daerah.
Advertisement
"Kita minta sistem UMP itu diubah. Seharusnya upah itu disamakan, itu harus dari pemerintah pusat, bukan di daerah," ujarnya saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Jumat (2/10/2015).
Akibat perbedaan besaran UMP ini, besaran upah yang berbeda-beda pada tiap daerah membuat pekerja di sektor tekstil menolak dipekerjakan pada daerah yang UMP-nya relatif lebih kecil.
"Kalau ada perbedaan KHL (kebutuhan hidup layak) satu daerah dengan daerah lain, antara kebutuhan tenaga kerja dengan wilayah yang ada pengangguran itu jadi tidak matching. Karena tenaga kerja nggak mau pindah ke daerah yang upah lebih rendah," lanjutnya.
Menurut Ernovian, hal seperti itu terjadi ketika sekitar 30 ribu tenaga kerja dirumahkan, dan mayoritas berada di Jawa Barat yang notabene upahnya tinggi. Namun ketika ada perusahaan tekstil yang butuh tenaga kerja di Jawa Tengah, yang UMP-nya lebih rendah, para tenaga kerja tersebut tidak mau bekerja di Jawa Tengah meski telah mendapatkan tawaran.
"Sekarang jadinya cari pekerja lagi susah dan yang dirumahkan bisa lebih besar. Karena seperti kemarin ada perusahaan di Jawa Tengah sedang butuh 20 ribu pekerja karena lagi kebanjiran order. Tapi pekerjanya (yang dirumahkan) tidak mau di Jawa Tengah karena UMP-nya hanya Rp 1,4 juta. Sedangkan di Jawa Barat Rp 2,2 juta," jelasnya.
Sebelumnya Ernovian menyatakan, sepanjang 2015, API mencatat sebanyak 18 perusahaan tekstil telah merumahkan para pekerjanya. Dari 18 perusahaan tersebut, tercatat kurang lebih 30 ribu pekerja di sektor tekstil yang dirumahkan.
"Itu ramai sejak Lebaran (Idul Fitri). Awalnya 6.000 karyawan, kemudian bertambah hingga 30 ribu itu," kata dia. (Dny/Zul)