Pertamina Pasrah Tanggung Rugi Bila Harga BBM Turun

Pertamina sanggup menanggung kerugian akibat penurunan harga BBM karena sebenarnya perseroan masih mendulang laba dari kegiatan usaha lain.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 02 Okt 2015, 19:16 WIB
Ilustrasi Minyak Pertamina (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - PT Pertamina (Persero) mengaku masih mencatat untung hingga Rp 10 triliun dari seluruh kegiatan usaha hulu sampai hilir sepanjang Januari-Agustus 2015. Namun, perusahaan pelat merah ini juga harus menanggung rugi sekitar Rp 15 triliun karena menjual harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium dan Solar di bawah harga keekonomian.

Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto mengungkapkan, perseroan tidak keberatan bila harus memikul pembengkakan beban kerugian karena menurunkan harga BBM. Pasalnya pemerintah sudah menegaskan tidak akan menambal rugi Pertamina dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Ya itu memang tugas Pertamina. Sejauh Pertamina secara korporasi masih punya laba dan potensi untuk berkembang, ya tidak masalah (defisit lagi)," ujar dia saat berbincang dengan wartawan di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (2/10/2015).

Menurut Dwi, Pertamina sanggup menanggung kerugian itu karena masih mendulang laba dari kegiatan usaha, selain penjualan BBM Premium. Dari catatannya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Migas ini meraup laba US$ 840 juta atau setara dengan Rp 10 triliun sampai periode Agustus 2015.

"Laba sekira Rp 10 triliun atau US$ 840 juta ini sudah menghitung kerugian Pertamina. Jadi meski jualan Premium rugi, secara total kami masih untung sekira Rp 10 triliun. Sejauh ini, kami masih bisa memikulnya, tapi kan labanya jadi berkurang," terangnya.

Apabila ada opsi menambal rugi Pertamina dari Penyertaan Modal Negara (PMN) atau pengurangan dividen dari pemerintah, Dwi lebih memilih opsi kedua. Mantan Direktur Utama PT Semen Indonesia Tbk itu meminta pengurangan setoran dividen sesuai kerugian tersebut.

"Penurunan dividen lah yang bagus. Kalau sebagai korporasi, kami berharap boleh saja kan, tapi keputusannya ada pada pemegang saham. Kami tetap harus memahami kondisi negara seperti apa," kata Dwi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya