Liputan6.com, Kunduz - Serangan udara yang dilakukan oleh pasukan koalisi yang dipimpin AS ke sebuah rumah sakit milik organisasi Doctors Without Borders atau Medecins Sans Frontieres (MSF) membuat komunitas internasional mengecam tindakan itu. Tak pelak, Sekjen PBB, Ban Ki-moon meminta penyelidikan segera dilakukan.
Serangan mematikan yang terjadi pada Sabtu 3 Oktober dini hari menewaskan 22 orang, termasuk di dalamnya dokter, suster dan staf MSF serta para pasien.
Advertisement
Seorang saksi mata yang juga suster rumah sakit itu mendeskripsikan penyerangan begitu brutal dan menakutkan.
"Saat itu benar-benar menakutkan," tulis Lajos Zoltan dalam blog milik organisasi itu, seperti dikutip dari ABCNews, Senin (5/10/2015).
"Aku sedang tidur dalam sebuah safe room di rumah sakit. Saat itu, pukul 02.00, aku terbangun oleh suara ledakan yang begitu kencang," tulis suster Jecs--begitu dirinya biasa dipanggil.
"Aku tak tahu apa yang terjadi, apalagi dalam seminggu terkhir, kami sering mendengar ledakan, dari jauh. Namun, kali ini begitu dekat dan kencang."
Jecs mengatakan dalam tulisannya bahwa ia mengindikasi bahwa rumah sakitnya telah diserang, saat salah satu koleganya yang terluka memanggil namanya.
"Dia adalah salah satu suster ruangan gawat darurat. Luka di tangannya begitu parah. Badannya bermandikan darah dengan luka pada sekujur tubuhnya. Di safe room, kami hanya punya sedikit suplai obat-obatan dasar dan tak punya morfin untuk meredakan kesakitannya," tulis Jecs.
"Kami lakuan apa yang bisa kami perbuat."
Setelah serangan bom berhenti, ia berlari ke lokasi dan pemandangan di sana membuatnya terkejut setengah mati.
"Kami mencoba mendekati ruangan yang sedang terbakar. Aku tak tahu bagaimana mendeskripsikan apa yang ada di dalam. Tak ada kata yang bisa diucapkan. Itu adalah gedung Unit Intensif, di mana 6 pasien yang terkena trauma luka bakar sedang dirawat," begitu kesaksiannya seperti dimuat banyak media.
Jecs juga bercerita betapa kacaunya suasana saat itu.
"Beruntung ada staf yang selamat, jadi kamu bisa menolong yang lainnya. Namun, karena banyaknya yang luka, kami tak bisa menolong mereka semua."
"Melihat orang-orang dewasa, sahabatmu sendiri, menangis tak bisa mengontrol dirinya karena kesakitan, benar-benar tidak mudah," tulisnya. "Aku bekerja di sini dari Bulan Mei dan melihat berbagai situasi medis yang luar biasa. Namun, kali ini berbeda, ketika yang kau hadapi adalah temanmu sendiri, kolegamu sendiri," menurut Jecs dalam blognya.
Rumah sakit itu adalah rumah kedua bagi Jecs.
"Benar ini hanya bangunan. Tapi lebih dari itu. Ini adalah pusat kesehatan bagi warga Kunduz. Sekarang telah hancur," ujarnya.
Sementara itu, AS akan menginvestigasi serangan ini lebih dalam. Namun, Doctors Without Borders meminta tim independen dan badan internasional untuk investigasi yang transparan.
(Rie/Tnt)