Liputan6.com, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai DPR salah mengartikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga ad hoc atau lembaga yang bersifat sementara. Hal ini menyikapi revisi Undang-Undang KPK yang menyatakan batas waktu keberadaan komisi itu hanya 12 tahun.
"Keliru kalau dianggap KPK punya jangka waktu terbatas karena ad hoc. Di kamus hukum, ad hoc itu dibuat untuk tujuan tertentu, bukan untuk waktu tertentu," kata Koordinator ICW Bidang Politik Donal Fariz di Jakarta, Rabu (7/10/2015).
Advertisement
Pasal 5 dan Pasal 73 revisi UU KPK menyebutkan secara spesifik bahwa usia KPK hanya 12 tahun sejak revisi disahkan.
Selain itu, ICW juga menyoroti soal KPK yang harus mendapatkan izin ketua pengadilan untuk melakukan penyadapan. Hal itu diatur dalam Pasal 14 ayat 1 huruf a RUU KPK. Menurut Donal, penyadapan adalah senjata pamungkas KPK.
"Kasus suap Gubernur Sumatera Utara tidak akan terungkap kalau KPK minta izin ke pengadilan, karena hakim akan membocorkan. Kasus tangkap tangan hakim tidak akan terjadi," tutur dia.
"Hari ini kan tersangka selalu mengelak. Akibatnya salah satu bukti yang kuat itu bukti penyadapan OC Kaligis, kini dia tidak bisa mengelak," tambah Donal.
Donal juga menyampaikan KPK tidak bisa dikerdilkan menjadi lembaga pencegahan korupsi. Sebab, keberadaan lembaga tersebut memang bertujuan untuk melakukan pemberantasan korupsi.
"Kalau pencegahan, harusnya itu tugas polisi dan jaksa, mereka ada di 34 provinsi dan jajarannya. Kalau KPK diharapkan fungsi pencegahan, logika itu keliru," tandas Donal. (Ado/Mut)