Citizen6, Jakarta Selalu menarik menyaksikan kolaborasi dua generasi dalam satu panggung. Saat berkolaborasi di atas satu pentas, dua generasi akankah mengalami ketimpangan atau justru melebur dengan indah. Untuk kali ini, sepertinya yang kedua adalah jawaban yang tepat.
Dewi 'Dee' Lestari dan Sapardi Djoko Damono. Dua penulis beda generasi tersebut membawakan pertunjukan bertajuk "Apresiasi Sastra" di Auditorium Galeri Indonesia Kaya dalam rangka Ulang Tahun Kedua Galeri Indonesia Kaya.
Advertisement
Acara dimulai dengan pembacaan dan musikalisasi puisi cerpen Hanya Isyarat oleh Dee. Diiringi denting piano dari Reza Gunawan, Dee langsung menghipnotis penonton dengan suaranya yang bening. Keheningan melingkup ruangan tersebut selama Dee membawakan beberapa puisi dan cerpen dari bukunya, Recto Verso. Selain Hanya Isyarat, Dee juga membawakan karya-karyanya yang lain, yaitu: Cicak di Dinding, Grow Older, dan tentu saja Malaikat Juga Tahu.
Tepukan membahana akhiri penampilan Dee malam itu. Selanjutnya, Dee bercerita bahwa Sapardi adalah penulis yang ia kagumi. Tanpa membaca puisi Sapardi, Dee mungkin tak akan menulis Supernova, karyanya yang fenomenal. Bagi Dee, Sapardi adalah panutan.
Sapardi pun naik ke atas pentas setelah dipanggil oleh Dee. Di atas pentas, dua penulis beda aliran ini bercengkrama. Tak ada jurang di antara mereka. Bagi Sapardi, Dee adalah generasi muda yang karyanya patut diapresiasi.
Sapardi membacakan sajak-sajaknya yang berjudul Tuan, Hujan Bulan Juni, Dalam Doaku, serta sajak pamungkas beliau, Aku Ingin. Tak hanya selesai sampai di sana, pertunjukan malam itu juga dimeriahkan oleh Tatyana dan gitaris Gupta Mahendra.
Dua seniman yang dulunya mahasiswa Sapardi itu bawakan musikalisasi puisi dari puisi-puisi Sapardi: Dalam Bis, Nocturno, dan juga Lansekap. Wajah puas tapi tak rela acara berakhir tampak di muka para penonton malam itu.
"Senang sekali dapat berkolaborasi dengan idola saya. Saat diminta berkolaborasi dengan sastrawan beda generasi, nama Sapardi langsung tercetus," ujar Dee ditemui di Jakarta, Rabu (07/10/2015).
Untuk Sapardi sendiri, tak ada alasan menolak tawaran tersebut. Sapardi menceritakan pertemuan pertama kali ia dan Dee, saat Dee membawa naskah Supernova-nya untuk dibaca.
"Waktu itu saya geleng-geleng kepala. Kok bisa orang nulis yang kaya gini. Seperti dugaan saya, karya-karya Dee akhirnya melejit dan terkenal," tukas Sapardi.
Aksi saling memuji terlontar di antara kedua penulis tersebut. Nyatalah kalau beda generasi, bukan berarti mesti saling menyombongkan diri. (sul)
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6