Liputan6.com, Ankara - Bom kembar meledak di Ibukota Turki, Ankara, pada Sabtu 10 Oktober 2015 pukul 10.00 waktu setempat. Semua orang lari berhamburan tunggang langgang menyelamatkan diri dari peristiwa tersebut.
Kala itu sekitar 1.400 orang berada di lokasi ledakan yang terletak di dekat dekat stasiun kereta, pusat kota tempat berkumpulnya protes yang diselenggarakan kelompok kiri. Mereka tengah menggelar aksi damai yang menuntut diakhirinya konflik berdarah antara separatis Kurdi, Partai Pekerja Turki (PKK), dengan tentara pemerintah.
Advertisement
Dilansir BBC, Sabtu (10/10/2015), rekaman gambar TV memperlihatkan kepanikan dan orang-orang bergelimpangan di jalan berlumuran darah, di antara papan-papan protes mereka.
Pemerintah setempat menyebut 95 orang tewas dalam ledakan tersebut. Sementara, Turki Medical Association mencatat 97 orang tewas dan lebih dari 400 orang luka-luka dalam kasus itu.
"Aku mendengar suara ledakan keras dan mencoba melindungi diriku sendiri karena banyak sekali pecahan kaca. Dan tak berapa lama, ledakan kedua terdengar," kata Serdar yang bekerja sebagai penjaga kios koran di stasiun kereta api.
"Banyak teriakan dan tangisan, sementara aku berlindung dari tumpukan koran-koran. Aku bisa mencium bau daging terbakar," tutur Serdar.
Peristiwa ini disebut sebagai serangan paling mematikan di Ibukota Turki dalam sejarah negara yang melewati dua benua, Asia dan Eropa itu.
The Guardian melansir Pemerintah Turki menyebut ledakan tersebut merupakan serangan bom bunuh diri. Namun, belum ada kelompok yang mengaku bertanggung jawab atas teror itu.
Perdana Menteri Turki Ahmet Davutoglu juga telah melontarkan pernyataan tersebut dalam pidatonya di televisi nasional negara itu, seperti yang diberitakan CNN.
Berantas Terorisme
Presiden Rusia Vladimir Putin mendesak perlunya menyatukan pemberantasan terorisme. Hal ini diungkapkan Putin saat menyatakan belasungkawa kepada keluarga korban serangan bom kembar mematikan di Ankara, Ibukota Turki.
"Hal ini diperlukan untuk menyatukan upaya dalam memerangi kejahatan ini. Apa yang terjadi di Turki, tentu merupakan serangan teroris tidak termaafkan, kejahatan teroris dengan banyak korban," kata Putin dalam sebuah wawancara dengan saluran TV Rossiya One, Sabtu 10 Oktober 2015 seperti yang dilansir Xinhua.
Menurut dia, serangan itu merupakan upaya untuk mengacaukan situasi di Turki. Kejelasan provokasi ini terlihat dari waktu serangan yang hanya berselang 3 pekan sebelum pemilihan umum.
Putin pun mengatakan Rusia siap bekerja sama dengan Turki untuk melawan ancaman teroris.
Tak hanya Putin, Presiden Amerika Serikat Barack Obama pun menyampaikan dukacitanya atas insiden ini. Gedung Putih mengatakan bahwa Obama telah menelepon Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Obama menekankan bahwa AS senantiasa mendukung Turki dan rakyatnya dalam memerangi terorisme.
Segendang sepenarian, PM Australia, Malcom Turnbull mengucapkan simpati dan duka citanya.
"Saya sangat kaget dan sangat sedih atas serangan di Ankara. Ini adalah aksi pengecut dan kejam. Hati dan doa kami untuk keluarga yang korban," kata Turnbull.
Buru Sang Bomber
Penyelidik Turki kini mulai mencari identitas pelaku bom kembar yang membunuh puluhan orang di Ankara. Selain itu, negara ini juga mengumumkan hari berkabung nasional selama 3 hari untuk mengenang para korban.
"Kami berdukacita untuk perdamaian," tulis halaman depan media sekuler Cumhuriyet, setelah hari berkabung nasional diumumkan oleh perdana menteri.
Headline media pro-pemerintah The Star menuliskan tajuk berjudul "Tujuan Bom untuk Memecah Bangsa'.
Sejauh ini belum ada yang bertanggung jawab atas serangan mematikan ini. Perdana Menteri Turki Ahmet Dovutoglu, seperti dikutip dari ABC.net.au, Minggu (11/10/2015) mengatakan, kemungkinan besar ISIS, Kurdi atau militan sayap kiri yang melakukannya.
Ia sendiri menolak tuduhan para pemimpin Kurdi keterlibatan pemerintah dalam pengeboman ini.
"Sangat penting untuk segera mencari identitas pelaku dan membawanya ke pengadilan," tulis pernyataan kantor perdana menteri. (Ali/Ans)