Liputan6.com, Singapura - Mata uang negara berkembang atau emerging market diperkirakan tetap stabil, dan secara bertahap bakal menguat. Hal itu dapat terjadi asal ekonomi China tidak terlalu melambat.
Ekonom HSBC Holdings Plc, Geoffrey Barker menyampaikan hal tersebut kepada klien, seperti dikutp dari laman Bloomberg, Senin (12/10/2015).
Advertisement
Sejumlah investor bertaruh kalau mata uang emerging market akan melemah. Akan tetapi, pihaknya bertaruh kalau mata uang emerging market termasuk rupiah Indonesia dan ringgit Malaysia melonjak.
"Pesisisme yang berlebihan dan overshoot di beberapa mata uang emerging market membuat sejumlah mata uang melemah. Saya ragu kalau mata uang emerging market akan kembali tertekan, itu terlalu dini juga untuk ekonomi China terus melambat," kata Barker, seperti dikutip dari laman Bloomberg, Senin (12/10/2015).
Ia mengatakan, banyak yang bergantung dari China. Padahal asalkan ekonomi China tidak terlalu melemah maka kasus devaluasi mata uang China Yuan tidak terlalu kuat. "Dengan stabilitas akan berdampak bagi mata uang Asia," ujar Barker.
Meski demikian, ada juga sejumlah pihak menilai kalau kondisi nilai tukar mata uang emerging market masih alami tekanan.
Hal itu disampaikan Yip Kay-Hay, Chief Invesment Officer (CIO) Bright Stream Capital Management. Ringgit pun jatuh paling dalam hampir tiga minggu pada Senin 12 Oktober 2015.Tekanan itu terjadi setelah wakil pimpinan bank sentral AS Stanley Fischer mengatakan kalau kenaikan suku bunga bank sentral AS masih tetap dimungkinkan pada 2015. Ringgit turun 0,18 persen menjadi 4.1468 per dolar Amerika Serikat (AS) pada Senin ini waktu setempat.
Direktur Pacific Alternative Asset Management Co, Sam Diedrich menuturkan, dolar AS masih berpeluang menguat terhadap mata uang negara berkembang. Sebelumnya China telah sengaja melemahkan mata uangnya atau devaluasi Yuan pada Agustus 2015. Hal ini membuat sejumlah negara berkembang harus memutar otak agar ekspornya dapat bersaing.
Seperti diketahui, mata uang dan bursa saham negara berkembang menguat pada pekan lalu setelah bank sentral AS menahan kenaikan suku bunga acuan. Sementara itu, data tenaga kerja AS juga tak sesuai harapan karena hanya naik 142 ribu dari target 200 ribu. Ini membuat harapan kalau kenaikan suku bunga bank sentral AS bakal ditunda. (Ahm/Igw)