Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah mengalami penguatan dan mencoba menembus level 13.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Sebelumnya, rupiah sempat tersungkur di atas level 14.500 per dolar AS. Jika ingin terus menguat, RI perlu belajar dari China.
Ketua Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas), Sigit Pramono mengatakan, rupiah masuk dalam katagori mata uang soft currencies atau mata uang kategori lunak. Jadi nilai tukar rupiah mudah digerakkan dari pengaruh eksternal.
Advertisement
"Sebetulnya kita tahu rupiah masuk kelompok soft currencies lawannya hard currencies, hard currencies yang kuat, seperti dolar, yen, euro semua masuk hard currencies, " kata dia di Jakarta, Senin (12/10/2015).
Lebih lanjut, dia menuturkan karena masuk kategori tersebut, gerak rupiah tergantung nilai tukar yang memiliki kategori kuat. Maka, intervensi yang dilakukan hanya berdampak sementara.
"Katakanlah waktu melemah melakukan intervensi kaya buang air ke laut berharap permukaan air laut meningkat. Nggak bisa, terlalu kecil karena kategori soft currencies konsekuensinya begini," ujarnya.
Maka dari itu Sigit bilang, perlu komitmen jangka panjang dilakukan pemerintah untuk memperkuat nilai tukar rupiah. Caranya, dengan mendorong perekonomian nasional.
Dia bilang, langkah itu seperti yang ditempuh China pada 20-30 tahun yang lalu sehingga mata uangnya menjadi kuat.
"Dalam jangka menengah panjang menjadikan negara ini 10-20 tahun ke depan pertumbuhan ekonomi kalau bisa double digit seperti 20-30 tahun yang dilakukan China. China termasuk soft karena tumbuh di atas 10 persen beberapa tahun dia punya cadangan devisa yang begitu besar sehingga AS was-was kalau China bergerak," tutup dia. (Amd/Zul)