Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah menetapkan tujuan yang jelas dalam mengeluarkan 3 jilid paket kebijakan sejak awal September lalu hingga awal Oktober ini yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan juga mendorong masuknya investasi ke Indonesia.
Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang Brodjonegoro mengungkapkan target yang dibidik dalam paket kebijakan adalah menjaga kelangsungan dunia usaha. Dia menjelaskan, banyak perusahaan sedang mengalami tekanan luar biasa akibat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, permintaan yang merosot dan berpengaruh terhadap produksinya.
"Kelangsungan usaha ada dari dua sisi, bagaimana harga energi tidak memberatkan mengingat tren harga energi di dunia sedang menurun," ujar Bambang.
Dia menambahkan, target kedua dalam kebijakan ini adalah menjaga daya beli masyarakat. Salah satunya melalui penyerapan dana desa yang bisa dinikmati masyarakat melalui cash for work. Dengan cara tersebut, proyek infrastruktur bukan saja akan bertambah, tapi juga meningkatkan penyerapan tenaga kerja.
Menteri Perindustrian Saleh Husin menambahkan, paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sebagai upaya untuk mendorong dunia usaha di dalam negeri memiliki daya saing. Oleh sebab itu, salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menurunkan biaya energi yang dibutuhkan industri. "Bagaimana salah satunya, cost produksi biaya energi bisa bersaing," ujar Bambang.
Dia menjelaskan paket kebijakan menjadi respon pemerintah atas keluhan dunia industri terkait tingginya biaya produksi, akibat mahal harga energi penggerak kegiatan industri. "Akhirnya pemerintah merespon dunia usaha dengan menurunkan biaya energi. Dengan sudah turun ini, saya kira dunia industri tanah air bisa punya daya saing yang kuat," lanjut Bambang.
Saleh pun optimistis paket kebijakan mampu mendorong masuknya investasi ke Indonesia. Dengan demikian diharapkan mampu menggerakkan aktivitas industri dan menciptakan lapangan kerja.
Dia menuturkan investasi ke sektor industri pengolahan non-migas misalnya, merupakan penanaman modal jangka panjang dan mendorong terjadinya efek berantai termasuk pembangunan daerah dan infrastruktur.
"Pemerintah selalu mendukung kemudahan dalam penanaman modal karena berdampak langsung dan segera ke pengembangan industri. Semua regulasi atau peraturan-peraturan yang menghambat akan dihapus, dicabut, direvisi atau dikaji lagi," ujar Saleh.
Respon Positif Pengusaha
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G Ismy mengatakan, industri tekstil menyambut baik kebijakan pemerintah yang memberikan diskon tarif listrik hingga 30 persen, mulai pukul 23.00 hingga pukul 08.00 WIB.
Diskon ini akan dimanfaatkan industri untuk menambah jam kerja pada waktu diskon listrik tersebut berlangsung. Dengan demikian diharapkan bisa meningkatkan produktifitas namun tidak membuat ongkos produksi meningkat.
"Diskon listrik yang 30 persen dari jam 11 malam hingga jam 8 pagi, kalau itu benar, maka akan kami akan adakan shift tambahan. Itu harus kita optimalkan," ujar Ernov.
Namun, lanjut dia, jika ingin industri nasional bisa bersaing dengan industri dari negara lain, seperti China, maka diskon tarif tersebut harus dinaikan hingga setengah dari harga normal.
"Kita minta diskon jangan 30 persen, harusnya 50 persen. Karena di China sudah seperti itu. Sekarang kan globalisasi, tapi mainset kita masih lokal," tandas Ernov.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Suryo Bambang Sulisto menambahkan, diluncurkannya paket kebijakan ini adalah upaya pemerintah dalam memperbaiki kondisi ekonomi di dalam negeri.
"Kita menanggapinya positif saja. Mudah-mudahan menjadi suatu yang akan membantu dari sisi fasilitas dan insentif," ujarnya saat berbincang dengan Liputan6.com.
"Beberapa sektor yang selama ini lesu seperti properti, itu diharapkan bisa terbantu dengan kebijakan yang akan dikeluarkan. Properti ini sektor penting dalam ekonomi karena dampak gandanya banyak," lanjut dia.
Advertisement
Harus Waspada
Kepala Ekonom PT Bank Danamon Tbk, Anton Hendranata menilai, pemerintah mengambil langkah tepat dengan melonggarkan kebijakan fiskal saat perekonomian nasional sedang lesu. Strategi ini diakuinya memang bertentangan dengan upaya pemerintah menggenjot penerimaan pajak.
"Tapi mau tidak mau penerimaan pajak memang harus dikorbankan. Jika kebijakan fiskal tidak dilonggarkan, pengusaha tidak akan sanggup membayar pajak dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bisa terus terjadi," ujar Anton.
Dia menjelaskan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagian besar ditopang oleh konsumsi rumah tangga, yakni sekira 50 persen-55 persen. Dengan begitu, lanjutnya, pemerintah harus fokus pada langkah jangka pendek dengan menolong atau meningkatkan daya beli masyarakat ketimbang memaksakan penerimaan pajak.
"Kalau ini tidak bisa ditolong, maka persepsi dunia usaha atau investor kepada Indonesia semakin negatif, dan akibatnya rupiah terus tertekan. Jika kebijakan yang diambil salah, rupiah bisa lari makin jauh," tutur Anton.
Peneliti Senior CORE Indonesia, Mohammad Faisal menambahkan, ada satu kebijakan yang sebenarnya sangat ditunggu pelaku usaha dalam paket kebijakan ekonomi, yakni penurunan BI Rate karena dinilai paling ampuh sebagai obat bagi dunia usaha dalam jangka pendek.
Faisal mengatakan, Bank Indonesia masih mempertahankan level BI Rate sebesar 7,5 persen selama setahun lebih meski realisasi inflasi relatif rendah. Apalagi deflasi bulan lalu, lanjutnya, memberi angin segar atau peluang bagi BI memangkas suku bunga acuan.
"Kalau suku bunga BI Rate turun, dampaknya sangat besar ke penyaluran kredit usaha rakyat. Tapi kalau tetap, akan ada gap atau jarang antara inflasi dan BI Rate sampai 5 persen. Inflasi saja di akhir tahun diprediksi 3,68 persen saja," papar Faisal. (Gdn/Bob)