Liputan6.com, Jakarta Jika Anda menyusuri jalan Jendral Sudirman, Jakarta, sulit rasanya untuk tak sadar dengan kehadiran gedung tinggi yang penuh dengan lekuk desain klasik Eropa. Da Vinci Penthouse adalah salah satu landmark Jakarta yang kontras dengan gedung-gedung tetangganya.
Tapi Da Vinci Penthouse bukan hanya berisi tempat tinggal. Itu juga sekaligus showroom utama dari furnitur Da Vinci. Sudah 22 tahun, label asal Singapura tersebut hadir di Indonesia. Bentuk perayaan eksistensinya di negeri ini dibuat dalam bentuk furniture expo bertajuk `22 Years Experience`, yang digelar mulai 14-18 Oktober 2015 di Jakarta Convention Center, Jakarta.
Advertisement
Tak perlu bingung bila di pameran tersebut Anda menemukan set sofa putih berdesain modern lengkap dengan meja kotak dan table lamp bernuansa senada. “Pameran ini ada untuk menunjukan apa saja yang sesungguhnya ditawarkan oleh Da Vinci,” ucap Doris Phua pada konferensi pers, Kamis, 14 Oktober 2015 di dalam arena pameran.
Demikianlah pada kesempatan itu, sang pendiri Da Vinci menyatakan secara eksplisit soal perkembangan dari label tersebut, di mana koleksi furnitur yang dimiliki bukan hanya berdesain klasik tapi juga modern dan kontemporer. Kabar terbaru soal Doris di Da Vinci ialah bahwa sekarang fokus dengan Da Vinci Indonesia.
Salah satu langkah pertamanya dalam menapaki keputusan tersebut adalah memberikan pelatihan selama 12 bulan kepada 12 desainer internal Da Vinci Indonesia. Karya-karya dari para desainer interior asal tanah air tersebut yang akan Anda jumpai di showroom label tersebut, di samping juga produk merek internasional lainnya, seperti Versace Home, Fendi Casa, Kenzo Maison, Cerruti, Armani Casa, Roberto Cavalli Home, Bottega Veneta, Natuzzi, dan lain sebagainya.
Perkembangan Da Vinci
Perkembangan Da Vinci
Identitas sebagai label furnitur yang menyuguhkan barang-barang berdesain klasik Eropa mungkin tak pernah bisa lepas dari Da Vinci. Memang karakter itulah yang dimunculkan sejak awal merek tersebut, yakni pada 1994 di Singapura.
Namun soal familiarisasi pilihan gaya modern dan kontemporer yang disajikan Da Vinci rasanya hanya soal waktu. Yang ingin dipertanyakan lebih lanjut ialah apakah label yang didirikan Doris bersama Tony Phua itu juga akan menyentuh genre lainnya, yakni etnik.
Untuk saat ini, ditilik dari sisi bisnis secara global, mengambil tema etnik untuk furnitur memang lebih risky. “Di pasar internasional, hanya sebagian kecil yang suka dengan gaya etnik,” ucap Doris kepada Liputan6.com usai konferensi pers berlangsung.
Apakah hal itu berarti Anda tak pernah melihat sentuhan etnik Indonesia pada produk-produk Da Vinci? Jawaban dari pertanyaan ini tentu akan tergantung dari banyak hal, dari soal strategi bisnis label itu sendiri, kondisi kebudayaan global, dan lain sebagainya.
Namun rasanya harapan itu tak perlu buru-buru dipadamkan. Pada malam pembukaan furniture expo Da Vinci, desainer fesyen Indonesia, Hian Tjen, digandeng untuk menjadi salah satu bagian acara dengan menampilkan koleksi busananya. Soal keikutsertaan Hian, Doris mengatakan bahwa itu adalah langkah awal untuk kolaborasi lebih lanjut dengan desainer-desainer Indonesia.
“Ke depannya Da Vinci Indonesia berencana untuk berkolaborasi dengan desainer fesyen Indonesia dalam mendesain koleksi furnitur,” jelas Doris. Hal ini yang menjadi ruang Anda berharap agar elemen budaya tradisional Indonesia bisa menjadi bagian dari pemain furnitur berskala mancanegara. Berdoalah agar para desainer tanah air yang diundang untuk berkolaborasi dengan Da Vinci turut memasukkan ethnic touch of Indonesia dalam desain mereka.
Tentu akan sungguh menarik bila ukiran tradisional Bali atau Jepara, maupun motif batik atau teknik tenun, dan berbagai unsur budaya tradisional Indonesia lainnya berbaur dengan gaya royal Eropa maupun modern dan kontemporer dari Da Vinci.
Advertisement