Liputan6.com, Jakarta - Di usia yang belum genap setahun, pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BJPS) Kesehatan masih carut marut.
Implementasinya yang menimbulkan moral hazard mengakibatkan neraca keuangan lembaga ini defisit sehingga membutuhkan suntikan modal negara.
Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang Brodjonegoro meminta kepada Menteri Kesehatan untuk memperbaiki sistem JKN ke depan supaya mengurangi moral hazard dan menyelamatkan BPJS Kesehatan.
"Saya inginkan perubahan atau perbaikan sistem, karena selama ini banyak hal yang over," kata dia di Jakarta, seperti ditulis Minggu (18/10/2015).
Bambang menjelaskan, beban pengeluaran atau klaim di BPJS Kesehatan membengkak akibat melonjaknya peserta menjadi hampir 153 juta orang sampai saat ini. Dari data BPJS Kesehatan, pendapatan dari iuran yang masuk sebesar Rp 39 triliun, sementara pengeluaran (klaim) menembus Rp 41 triliun. Paling banyak peserta BPJS Kesehatan adalah pekerja penerima bukan upah atau peserta mandiri.
"Klaim rasio kalau 70-80 persen dari Penerima Bantuan Iuran (PBI) kan normal, tapi ini klaim rasio peserta mandiri pernah mencapai angka di atas 1.000 persen. Jadi yang melakukan moral hazard itu peserta mandiri, kasusnya baru membayar iuran sekali, bisa cuci darah setelah agak sehatan, dia tidak setor iuran lagi," ujarnya.
Anggota Komisi XI DPR, Misbakhun mengaku ironi mendengar data tersebut. BPJS Kesehatan, dinilainya sudah membebani sistem keuangan Negara ini karena dari defisit tersebut, pemerintah mengajukan pencairan cadangan pembiayaan Rp 1,54 triliun sebagai tambahan modal ke BPJS Kesehatan dalam APBN-P 2015.
"Kalau sistemnya tidak diperbaiki, Indonesia bisa menjadi negara bangkrut cuma karena jaminan sosial. Bagaimana mungkin bayar asuransi baru sekali, bisa klaim misalnya dalam dua minggu langsung cuci darah. Ini yang harus diperbaiki," tegas Politikus dari Fraksi Golkar ini.
Advertisement
Menunggak Iuran
Menanggapi pernyataan tersebut, Direktur Keuangan dan Investasi BPJS Kesehatan Ridwan saat berbincang dengan Liputan6.com, mengakui banyak peserta bukan penerima upah yang hanya sekali membayar premi dan menerima manfaat, kemudian menunggak iuran.
"Banyak sekali yang putus tidak bayar. Kita tagih kok begitu dia nunggak. Tapi kan ini balik lagi kesadarannya mau bayar atau tidak. Seharusnya kalau tidak bayar, maka ancamannya tidak dapat pelayanan publik di pemerintahan, seperti urus KTP dan lainnya, bukan di BPJS," terangnya.
Oleh karena itu, Ridwan berharap pemerintah bisa memperpendek masa manfaat fasilitas dari 6 bulan menjadi 3 bulan atau hanya sebulan. Dengan begitu, saat peserta menunggak iuran, maka hilanglah fasilitas kesehatan dari BPJS.
"Jadi begitu tidak bayar, tidak bisa gunakan fasilitasnya. Nanti kita rekomendasikan ke pemerintah, tapi bukan bertujuan supaya tidak melayani mereka. Kita ingin mendidik mereka disiplin membayar premi dan tidak menimbulkan moral hazard karena prinsip di sini kan gotong royong yang sehat, ikut membayar iuran untuk yang sakit," jelas dia.
Dari sisi iuran, sambung Ridwan, pemerintah telah mengajukan kenaikan premi kepada DPR RI dari Rp 19 ribu per bulan menjadi Rp 23 ribu per bulan tahun depan.
"Ini usulannya, tapi kalau dari Bu Menkes mengusulkan Rp 36 ribu supaya tidak perlu lagi suntikan dana tambahan. Tapi jika Rp 36 ribu, pemerintah tidak kuat nanggung PBI-nya sebab diperkirakan tahun depan peserta bisa melonjak jadi sekitar 168 juta orang," pungkas Ridwan. (Fik/Ndw)
Baca Juga