200 Tahun Lalu, Kota London Terendam Banjir Bir

8 Orang tewas saat kilang pembuatan bir di tengah kota London meledak dan menghamburkan begitu banyaknya bir hingga membanjiri kota London.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 19 Okt 2015, 13:14 WIB
Kilang pembuatan bir di tengah kota London meledak dan menghamburkan begitu banyaknya bir hingga membanjiri kota London.

Liputan6.com, London - Suatu bencana membawa korban jiwa dan banjir bir di kota London terjadi pada 17 Oktober 1814. Insiden itu menimpa perusahaan minuman di Bainbridge Street yang dimiliki oleh Messrs. Henry Meux and Co. Perusahaan ini berdiri sejak jaman Raja George III dan menghasilkan lebih dari 100.000 barel nektar berwarna gelap setiap tahunnya.

Sekitar pukul 16.30, George Crick, pengawas gudang, sedang melakukan inspeksi di gentong-gentong raksasa terbuat dari kayu yang menjadi tempat fermentasi bir hitam. Melihat ke dasar gentong, ia mengamati adanya cincin gentong seberat 318 kilogram yang longgar dari wadah penyimpanan bir yang sudah berproses selama 10 bulan.

Kilang pembuatan bir di tengah kota London meledak dan menghamburkan begitu banyaknya bir hingga membanjiri kota London. (Sumber Guildhall Library & Art Gallery/Heritage Images)

Dari pengalamannya selama 17 tahun di perusahaan, ia maklum bahwa hal ini bisa terjadi 2 atau 3 kali dalam setahun, dan ia tidak terlalu khawatir. Walaupun bahan bir hanya tinggal 10 centimeter saja dari puncak wadah setinggi 6,7 meter, atasannya meyakinkan bahwa tidak ada masalah dan hal renggangnya cincin gentong itu bisa diperbaiki belakangan.

Seperti dipaparkan dalam laman History, baru saja ia menuliskan catatan temuannya pada sekitar pukul 17.30, ia mendengar ledakan besar di dalam gudang. Ternyata, wadah yang berisi lebih dari 473.000 liter bir telah jebol dan merusak katup di wadah-wadah lain yang juga berisi ribuan barel bir. Terjadilah reaksi berantai dan sebanyak 570 ton cairan membludak bersamaan.


Gelobang Bir yang Mematikan

Kekuatan ledakan itu melontarkan batu-batu bata ke atap rumah-rumah di Great Russell Street dan merobohkan tembok bata tinggi menimpa Eleanor Cooper (14), sehingga ia tewas seketika. Gelombang cairan bir mendesak ke jalur-jalur sempit di sekitar tempat itu dan menelan segala sesuatu yang berada di alirannya.

Karena tidak ada sistem selokan di jalan-jalan kota, gelombang cairan bir hitam itu mau tidak mau masuk ke dalam rumah-rumah di sekitar pabrik. Wargapun terpaksa memanjat meja dan perabotan lain untuk menyelamatkan diri ketika bir itu meluap di dalam rumah mereka.

Kerusakan terburuk terjadi di New Street. Gelombang dadakan ini menyapu Hannah dan Mary Banfield yang sedang menikmati saat minum teh sore hari, dan mereka tenggelam di dalam air bah cairan bir itu. Gelombangnya sangat kuat sehingga atap rumahnya runtuh dan menewaskan Anne Saville dan empat orang lainnya.

Kilang pembuatan bir di tengah kota London meledak dan menghamburkan begitu banyaknya bir hingga membanjiri kota London. (Sumber duncan1890/iStockphotos.com)

Lingkungan St. Giles terendam banjir bir. Regu penolong berusaha mencari mereka yang terjebak dalam banjir setinggi pinggang, padahal cairan bir itu masih bersuhu tinggi. Belum lagi pihak kerabat dan teman yang berteriak-teriak karena khawatir.

Dilaporkan Morning Post, “Pemandangan penderitaaan ini menampilkan hal yang paling mengerikan, seperti halnya kebakaran atau gempa bumi.” 

Walaupun Banjir Bir London sepertinya sepele dan mirip dengan kejadian serupa di Boston pada 1919, penderitaan yang diakibatkannya tidak terbayangkan.

Laporan Morning Post menyebutknya, “salah satu kecelakaan menyedihkan yang kita kenang selalu.” Walaupun semua orang di dalam pabrik selamat, ada 8 orang wanita dan anak-anak yang menjadi korban tewas di lingkungan sekitarnya.

Lima orang yang melayat ke rumah duka John Saville malah ikue menjadi korban yang dilayat di balai umum Ship di Bainbridge Street. Peti mati Anne Saville sekarang ditaruh dekat peti mati yang berisi jasad putranya, dan berdekatan juga dengan peti mati Elizabeth Smith, Catherine Butler, Mary Mulvey dan putranya Thomas Murray (3).

Peti mati Eleanor Cooper, Hannah Banfield, dan Sarah Bates (3) ditempatkan di halaman di dekatnya dan dilayat oleh warga London yang memberikan penghormatan terakhir sambil menyumbangkan recehan uang duka untuk biaya pemakaman para korban.


Lolos dari Jerat Hukum

Dalam waktu dua hari setelah malapetaka itu, seorang juri pengadilan memerintahkan untuk menyelidiki peristiwa itu. Setelah mampir ke tempat kejadian, memeriksa jasad-jasad para korban, dan mendengarkan kesaksian dari George Crick sang pengawas gudang, sang juri menyimpulkan bahwa para korban meninggal secara “tidak sengaja dan sedang sial”.

Begitulah. Selain lolos dari kewajiban membayar ganti rugi, perusahaan itu malah mendapatkan pengecualian pajak dari Parlemen Inggris sehubungan dengan ribuan barel birnya yang terbuang sia-sia. (Alx/rie)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya