Liputan6.com, Seoul - Suasana ruang sidang gaduh. Keluarga Yoon Seung-joo berteriak kaget. Mereka menolak keputusan sidang militer tersebut yang digelar dan diputus sebulan setelah kematian prajurit muda itu.
Yoon Seung-joo adalah prajurit produk wajib militer Korea Selatan. Pemuda 21 tahun itu tewas di tangan prajurit senior setelah berbulan-bulan disiksa, dipukuli, diberi makan sisa oleh para atasannya. Terakhir, ia tewas kehabisan nafas karena dipukuli dan dicekek saat dipaksa makan. Namun, tak ada otopsi atas kematiannya.
Keluarganya histeris saat mendengar kematian anak laki-lakinya.
“Aku sungguh tidak tahu apa yang terjadi dalam barak. Saat kami diberi tahu anakku mati, aku tidak percaya,” isak Ahn Mee-ja, sang ibu, sebelum sidang berlangsung.
Advertisement
Ia melanjutkan, “Namun, saat aku melihat jenazah anakku, aku tahu ada yang salah."
Empat orang tentara diseret ke pengadilan atas kematiannya. Salah satunya adalah komandan Yoon langsung. Hakim memutuskan bersalah dan mengganjar hukuman 25 hingga 45 tahun. Tentu saja keluarga keberatan. Terlebih jaksa telah menuntut hukuman mati atas ke empatnya.
“Negara macam apa ini?” kata Ahn histeris setelah mendengar keputusan hakim.
“Bukannya ini pembunuhan! Aku harus tinggalkan negara ini, aku tidak mau tinggal di sini lagi,” kali ini Ahn menangis sejadi-jadinya di depan para wartawan yang mengerumuni dia setelah sidang selesai, seperti dikutip oleh Reuters, September 2014.
Ini adalah salah satu potret buram dari kematian sia-sia pemuda yang turut wajib militer atau dikenal dengan gundae di Korea Selatan. Negera Gingseng itu masih menganut wajib militer bagi kaum muda pria yang berusia 18 hingga 35 tahun untuk berbakti kepada negaranya selama 21 hingga 36 bulan dan bisa diperpanjang. Kasus Yoon adalah salah satunya.
Pada 2005, insiden kematian terjadi oleh pemuda hasil wajib militer. Ia meledakkan granat tangan dan menyebabkan 8 prajurit tewas. Pemuda itu bunuh diri karena tak tahan dengan perlakuan para senior. Keluarga mengetahuinya dari catatan harian yang ia tinggalkan. Di tahun yang sama, seorang kapten angkatan darat ditahan karena telah memaksa 200 prajurit wajib militer memakan kotorannya sendiri karena menganggap mereka tak becus membersihkan kamar mandi barak.
Kasus lain yang membuat publik Korsel terhenyak terjadi pada 2011, ketika salah satu peserta wajib militer tak bisa menahan diri akibat tekanan para senior. Ia memberondong senjata otomatisnya dan membunuh 4 prajurit.
Dari 2014 hingga awal 2015, ada lebih dari 350 kasus kekerasan terhadap anggota baru tentara wajib militer seperti dilansir oleh The Economist mengutip dari Komisi HAM Korsel. Sebagian besar tak dilaporkan karena mereka takut.
Dalam dekade terakhir ada 800 tentara wamil bunuh diri setelah selesai atau bahkan saat bertugas. Di satu sisi, mengikuti wamil membuat jalan masa depan mereka akan lebih mudah karena tak sedikit orang-orang pebisnis atau di puncak kekuasaan pemerintah 'lulusan' wamil. Akan lebih mudah bagi mereka untuk meloloskan karier di masa depan.
Ditemukan juga, para anak orang berada dan anak pejabat tinggi Korsel, memilih melepas kewarganegaraannya daripada ikut wamil. Menurut Adminsitrasi Militer Korsel, jumlah pemuda yang melepaskan warga negaranya pada 2014 lebih tinggi dibanding 2013. Ada sekitar 3.000 hingga 4.400 pemuda hengkang ke Kanada, Australia dan Selandia Baru.
Kalangan oposisi seperti Ahn Gyu-baek mengecam tindakan anak-anak pejabat tersebut dan bersikeras, mereka tidak bisa mendapatkan status kewarganegaraannya lagi.
"Seharusnya orangtua mereka memberi contoh yang baik. Barang siapa yang kabur dari wajib militer dengan pindah negara, mereka tidak diperbolehkan untuk mengambil status warga negara mereka lagi," kata Ahn seperti dilansir Channel News Asia, September 2015.
Gundae diberlakukan di Selatan saat Perang Korea pecah di tahun 1953. Secara teknis kedua Korea hingga saat ini masih dalam keadaan berperang.
Istilah wajib militer ini pada dasarnya telah diperkenalkan sejak perang di era Kekaisaran Romawi dan masa feodal di belahan bumi Barat. Wamil yang benar-benar terikat dengan bagian dari dinas militer modern terjadi pada Era Napoleon yang membuat pasukan Prancis 5 kali lebih besar.
Ide ini diterapkan pada Perang Dunia I oleh masing-masing negara ‘peserta’ perang. Namun, setelah perang berakhir, kewajiban ini berhenti. Peraturan mulai diberlakukan kembali saat PD II. Semenjak saat itu, beberapa negara masih mempertahankan kewajiban itu.
Di Amerika Serikat, wamil Wajib Militer pertama kali didengungkan saat perang sipil AS pada 1863 dengan legalisasi bernama The Enrollment Act. Perekrutan pemuda-pemuda dilakukan untuk mendukung pasukan Union Army.
AS, meski menyetop kewajiban wamil pada 1975, namun, semua pria AS berusia 18-25 tahun wajib mendaftar di U.S. Selective Service System untuk mempermudah pelaksanaan kembali wamil jika diperlukan.
Negara tetangga Indonesia, seperti Singapura dan Malaysia, masih memberlakukan wajib militer.
Hal Usang di Eropa
Di beberapa negara Eropa, mereka tak lagi menerapkan kewajiban yang banyak ditentang oleh pemerhati Hak Asasi Manusia. Bahkan dari 28 negara NATO, 23 telah meninggalkannya. 21 negara Uni Eropa pun mengganggap hal usang. Hanya Denmark, Austria, Cyprus, Denmark, Finlandia, Norwegia, Swiss, Moldova, Turki dan Estonia, yang masih menerapkan kewajiban ini, menurut media Jerman, Deutch Welle.
Namun beberapa negara mulai kembali mempertimbangkan wajib militer karena situasi konflik. Lithuania dan Latvia contohnya. Langkah ini diambil kedua negara tersebut setelah beberapa negara di kawasan seperti Rumania dan Republik Ceko meningkatkan anggaran pertahanan dan juga mempertimbangkan melakukan wajib militer.
Bahkan di Lithuania, pemerintahnya sudah mengumumkan nama-nama pemuda secara online, siapa yang wajib ikut wajib militer. Hal itu membuat sebagian besar dari mereka kaget.
"Sumpah! Kupikir bercanda aku menemukan namaku di daftar pengumuman," kata Tomas, salah satu pemuda yang namanya tertera di pengumuman pemerintah kepada laman berita delfi.lt, bulan Mei 2015.
"Bagaimana pekerjaanku? Kehidupan pribadiku? Pinjamanku ke bank?" tanya lagi.
Meski ada yang tak menyetujuinya, ada juga yang manut meski setengah hati. "Aku tidak setuju dengan layanan paksaan ini. Namun, aku harus mengikuti peraturan dan undang-undang Lithuania," tutur Edgaras.
Menurut survei yang dilakukan oleh laman tersebut, 51.9 persen mereka setuju atas wajib militer, hanya 27.9 persen yang menolak.
Di negara ini, pemilihan pemuda berusia 19 hingga 26 dipilih acak oleh komputer. Ada 36.825 pria 'pilihan', dan angkatan pertama, mereka akan menugaskan 3 ribu pemuda untuk menjadi tentara.
Tak ada pengecualian, bahkan pemuda sekelas atlet nasional pun terpilih membela negaranya. Antara lain, Richard Berankis, atlet tenis yang kini berada di peringkat ke-91 ATP World Tour. Tautvy Sabonis, pebasket nasional yang sedang bermain untuk tim Spanyol dan juga anak dari legenda basket Lithuania, Arvyas Sabonis.
Negara kecil di kawasan Balkan ini, padahal sudah menghapus kewajiban militer pada 2008. Namun, awal 2015, mereka mempertimbangkan untuk menerapkan kembali wajib militer karena kondisi perang di Ukraina.
Perbudakan Terselubung?
Perancis adalah negara pertama di Eropa yang menghapuskan wajib militer pada 2001, disusul oleh negara lainnya di kawasan. Jerman memutuskan menghapuskannya pada 2011, namun wajib militer masih masuk dalam konstitusi dan bisa kembali diterapkan jika situasi darurat terjadi di negara Bavaria.
Wajib militer paling lama Eropa adalah di Cyprus dengan 26 bulan latihan. Sementara Denmark paling sebentar. Hanya empat bulan dan hanya diterapkan jika mereka kekurangan tentara.
Salah satu alasan penghapusan wajib militer adalah penghargaan hak individu dengan tidak memaksa mereka turun ke peperangan yang tidak mereka sukai.
Selain itu, peraturan ini dianggap kuno. Peperangan saat ini tidak lagi memerlukan penurunan pasukan dalam jumlah besar. Adu teknologi tempur seperti serangan jet, perang siber dan pengerahan pasukan khusus dalam jumlah kecil, merupakan taktik perang moderen yang terjadi saat ini. Terutama dalam operasi pemberantasan terorisme, pasukan dalam jumlah besar tidak diperlukan lagi.
Menurut professor ekonomi di George Mason University, AS, Bryan Douglas Caplan, wajib militer adalah bentuk lain dari perbudakan.
"Wajib militer adalah perbudakan. Perbudakan adalah kerja paksa, wajib militer adalah pelayanan militer secara paksa. Tidak hanya wajib militer itu perbudakan, namun ini secara khusus adalah bentuk perbudakan kejam yang kerap berakhir dengan kecacatan dan kematian," kata Caplan dalam sebuah tulisannya tahun 2011.
Namun bagi para pendukung kebijakan ini, wajib militer diperlukan. Terutama untuk genarasi muda demi menanamkan kedisiplinan dan nasionalisme.
Selain itu, banyak negara yang menerapkan peraturan ini karena kesulitan merekrut tentara. Kendala lain, tentara profesional lebih mahal ketimbang pasukan sukarela.
Austria, pada 2013, pernah mengadakan referendum untuk mengakhiri wajib militer. Namun hampir 60 persen warganya menginginkan peraturan ini tetap diberlakukan. (Rie/Yus)
Advertisement