Liputan6.com, New York - Sejumlah peneliti melaporkan temuan mereka dalam Neuroscience 2015 sehubungan dengan penyebab autisme. Hasil temuan mereka memperkuat dugaan bahwa ada antibodi tertentu dalam aliran darah wanita yang dapat mengganggu perkembangan otak janin sedemikian rupa sehingga mengarahkan anak kepada autisme. Hasil ini mengundang upaya mencari cara mengenali dan menghalangi antibodi tersebut pada wanita hamil.
Antibodi adalah kumpulan protein yang mengikat zat asing yang masuk dalam tubuh manusia, misalnya virus dan bakteri, dan menandai zat-zat asing itu supaya dimusnahkan oleh sistem kekebalan tubuh (sistem imun). Namun demikian, ada kalanya protein-protein itu malah melekat kepada sel-sel yang sehat sehingga menghasilkan reaksi autoimun, atau pemusnahan diri pada sel-sel tersebut.
Advertisement
Seperti diulas dalam laman lembaga nirlaba Autism Speaks, suatu penelitian sebelumnya menemukan kaitan kasus-kasus penyimpangan spektrum autisme (autism spectrum disorder, ASD) dengan antibodi dari ibu yang mengganggu perkembangan otak janin. Penjelasan diagram keadaan ini tertera pada gambar di atas tulisan ini. Diagram tersebut bersumber ke Pediatric Bioscience.
Dalam penelitian baru itu, para peneliti memisahkan sejumlah antibodi yang dimaksud yang ada pada para ibu yang anaknya terdampak autisme. Peneliti-peneliti itu kemudian menyuntikkan antibodi tersebut kepada tikus-tikus hamil.
Lior Brimberg, penulis utama penelitian menjelaskan hal tersebut, “Kami mendapati bahwa hanya keturunan jantan—bukan yang betina—yang selama masa kehamilan terpapar kepada suatu antibodi tertentu itu yang kemudian menampakkan ketidakwajaran struktur saat perkembangan otak.”
Ilmuwan dari Feinstein Institute for Medical Research di kota Manhasset, New York, ini melanjutkan, “Ketika dewasa, tikus-tikus jantan tadi menampilkan ketidakwajaran perilaku yang mengarah kepada ASD.” Perilaku yang dimaksud misalnya perilaku mengulang-ulang, ketidakluwesan dalam belajar, dan penurunan kemampuan sosial.
Dampak jelas pada tikus jantan dibandingkan dengan tikus betina sejalan dengan kecenderungan yang masih belum sepenuhnya dimengerti pada manusia, yaitu bahwa keadaan autisme pada anak lelaki dan kaum pria adalah 5 kali lebih banyak daripada autisme pada anak perempuan dan kaum wanita.
Para peneliti itu kemudian lanjut mempelajari antibodi itu dan mengungkapkan bahwa antibodi tersebut menyerang suatu protein membran sel yang memiliki peran kunci dalam fungsi sel otak yang sehat. Hal ini cocok dengan penelitian-penelitian lain pada manusia dan hewan yang mengkaitkan autisme dengan mutasi gen yang menghasilkan protein sel otak yang sama.
“Pendekatan ini memungkinkan untuk menandai antibodi perangsang ASD dan bisa mengarahkan pengembangan obat yang menghalangi antibodi ini sehingga mencegah timbulnya subjenis ASD ini,” kata dokter Lior Brimberg. Bukan hanya itu, pendekatan ini telah menambah pengertian tentang setidaknya salah satu cara berkembangnya autisme.
Penelitian tersebut didanai oleh Simons Foundation, Departemen Pertahanan AS, dan Brain & Behavior Research Foundation. (Alx)