Rupiah Ditutup Melemah 1,1%, Ekonomi China Jadi Penyebabnya

Pada perdagangan Selasa (20/10/2015) ini, nilai tukar rupiah ditutup melemah 1,1 persen terhadap dolar AS.

oleh Ifsan Lukmannul Hakim diperbarui 20 Okt 2015, 17:02 WIB
Tahukah Anda kalau ada beberapa perbedaan fisik antara uang kertas Rupiah dan Dolar AS?

Liputan6.com, Jakarta - Pada perdagangan Selasa (20/10/2015) ini, nilai tukar rupiah ditutup melemah 1,1 persen terhadap dolar AS. Pelemahan tersebut disebabkan adanya kekhawatiran atas perlambatan ekonomi China yang merupakan mitra dagang terbesar bagi Indonesia.

Mengutip Bloomberg, nilai tukar rupiah ditutup di level 13.646 per dolar AS atau melemah 1,1 persen dibanding penutupan Senin kemarin di level 13,517. Sepanjang Selasa ini, nilai tukar rupiah bergerak pada kisaran 13.591 hingga 13.703 per dolar AS.

Pada kuartal III 2015 ini, pertumbuhan ekonomi China tercatat 6,9 persen (year on year). Turun juga dibanding dengan kuartal sebelumnya yang ada di level 7 persen (year on year), tapi lebih tinggi jika dibanding dengan konsensus para ekonomi yang disurvei oleh Bloomberg. Sebagian besar ekonom memperkirakan pertumbuhan ekonomi China di kuartal III 2015 kemarin ada di angka 6,8 persen.

Pertumbuhan ekonomi China pada kuartal III 2015 tersebut merupakan laju terlemah dalam 5 tahun terakhir. Pada 2010, pertumbuhan ekonomi China masih berada di kisaran 12 persen. Kemudian terus menurun dan pada kuartal III 2015 ini mencapai titik terendah sejak 2010. Namun sebenarnya pertumbuhan ekonomi China juga pernah berada di bawah level tersebut yaitu pada 2009 yang ada di level 3,8 persen.

Sementara itu, data pertumbuhan Industrial Production untuk September menurun menjadi 5,7 persen, di bawah perkiraan ekonom yang sebesar 6 persen. Memburuknya data ekonomi, menyebabkan penurunan terbesar dalam satu bulan terakhir pada Bloomberg Commodity Index’s, karena China adalah konsumen energi, logam dan biji-bijian terbesar di dunia.

"Pertumbuhan China lemah, berarti harga komoditas akan tetap lemah, sehingga tidak akan ada pertanda baik bagi ekspor Indonesia," kata Agus Yanuar, Presiden Direktur dan Kepala Investasi di PT Samuel Aset Manajemen. Belum adanya pertanda baik dari sisi ekspor tersebut memberikan sentimen negatif kepada nilai tukar rupiah.

"Di sisi domestik, kami sedang menunggu tanda-tanda belanja publik untuk mulai memicu investasi sektor swasta. Seperti itulah yang akan menghidupkan kembali pertumbuhan ekonomi," tambah Agus.

Berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam beberapa pekan terakhir diharapkan bisa mendorong belanja dalam negeri sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi. (Ilh/Gdn)*

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya