Liputan6.com, Alexandria - Para peneliti dari University of Alexandria di Mesir telah mengembangkan cara yang lebih murah, lebih mudah, dan bisa jadi lebih bersih untuk mengubah air laut menjadi air minum.
Hal ini bisa memberikan dampak yang besar kepada daerah-daerah pedesaan di Timur Tengah dan Afrika Utara, di mana akses ke air bersih merupakan masalah yang mendesak demi kestabilan sosial dan perkembangan ekonomi.
Advertisement
Sekarang ini, desalinasi—proses yang mengubah air laut menjadi air tawar—merupakan satu-satunya cara yang layak untuk menyediakan air kepada populasi yang sedang berkembang. Tempat-tempat desalinasi telah menjadi kenyataan hidup di Mesir dan sejumlah negara Timur Tengah.
Namun demikian, seperti dikutip dari SciDev pada hari ini,Rabu, (21/10/2015), kebanyakan tempat pengolahan ini menggunakan proses langkah berganda berdasarkan proses osmosis terbalik (reverse osmosis) yang memerlukan infrastruktur yang mahal dan pasokan listrik yang banyak.
Tempat pengolahan itu juga menghasilkan banyak sekali zat dengan kadar garam yang sangat tinggi dan pencemar lainnya yang masuk kembali ke lautan dan samudra sebagai bagian dari proses desalinasinya. Tentu saja hasil ini ikut menjadi persoalan bagi lingkungan hidup kelautan.
Dalam suatu makalah yang terbit bulan lalu di jurnal Water Science & Technology, peneliti Mona Naim, Mahmoud Elewa, Ahmed El-Shafei, dan Abeer Moneer mengumumkan bahwa mereka telah mengembangkan cara baru untuk memurnikan air laut menggunakan bahan yang dapat dibuat dengan mudah dan murah di banyak negara. Cara ini juga tidak bergantung kepada keberadaan pasokan listrik.
Pervaporasi
Teknologi yang dimaksud menggunakan cara pemisahan cairan dan padatan yang dikenal dengan pervaporasi. Pervaporasi merupakan proses dua-langkah yang sederhana. Langkah pertama melibatkan pentapisan (flitering) cairan melalui membran keramik ataupun polimerik. Langkah ke dua mencakup penguapan dan pengumpulan air hasil pengembunannya.
Pervaporasi lebih cepat, lebih bersih dan lebih berdayaguna dalam penggunaan energi jika dibandingkan dengan cara konvensinal, terutama karena panas yang digunakan pada tahap penguapan tidak harus dibangkitkan dengan menggunakan listrik.
Sebetulnya pervaporasi bukanlah hal baru dan sudah digunakan bertahun-tahun. Bedanya, membran yang digunakan dalam langkah pertama selama ini harganya lebih mahal dan lebih rumit pembuatannya.
Terobosan dalam penelitian ini dalah temuan membran baru yang bersifat menarik garam karena disisipkan dengan bubuk asetat selulosa di langkah pertama proses pervaporasinya.
Catatan, bubuk asetat selulosa adalah serat yang berasal dari bubur kayu dan—menurut para penelitinya—murah serta mudah dibuat di laboratorium manapun.
Merujuk kepada makalah itu, membran yang dimaksud dengan cepat mentawarkan air laut dengan kandungan garam yang tinggi dan memurnikan bahkan air laut yang sangat tercemar.
Membran itu juiga mampu menangkap bahan pencemar dan kristal-kristal garam untuk mengurangi polusi di lingkungan sekitarnya. Membran itu juga dapat dipakai di tempat yang sangat terkucil dan menggunakan panas dari api untuk menguapkan air.
Para peneliti Mesir itu masih harus membuktikan kelayakan komersial produk itu. Jika memang terbukti, sistem ini akan merupakan alternatif yang sangat menjanjikan bagi negara-negara berkembang di mana air dan listrik merupakan sumberdaya yang sedikit. (Alx)
Advertisement