Liputan6.com, Jakarta Calonarang merupakan cerita rakyat yang berkembang di tanah Jawa dan Bali. Dalam dua latar budaya tersebut, kisah Calonarang dipertahankan sebagai grubug atau geguritan, yaitu tradisi lisan yang hidup dan berkembang dari mulut ke mulut. Namun demikian, kisah Calonarang banyak diceritakan kembali dalam berbagai genre kesenian, salah satunya sendratari.
Menurut Ketut Pastika, seorang tour guide Bali saat diwawancarai Liputan6.com via telepon, Rabu (20/10/2015) mengungkapkan, sendratari Calonarang dalam masyarakat bali ada dalam dua jenis, yaitu yang bersifat profan dan sakral. Yang bersifat profan hanya dipentaskan untuk sekadar hiburan, sementara yang bersifat sakral dipentaskan hanya dalam upacara mecaru.
Advertisement
“Mecaru itu upacara menyucikan desa. Kami orang Bali percaya, di antara kami ada ‘hitam dan putih’, upacara Mecaru untuk melawan kekuatan hitam yang ada, dan pementasan itu (Sendratari Calonarang dalam balutan sakral) waktunya tidak tentu, bahkan bisa 10 tahun sekali,” ungkap Ketut kemudian.
Jika merunut pada embrio kisah Calonarang yang tertulis dalam naskah lontar bertarikh 1540 M, yang hingga kini naskahnya masih tersimpan di Perpustakaan Nasional, kisah Calonarang menceritakan tentang janda beranak satu bernama Calonarang yang hidup di Girah, sebuah desa terpencil di Jawa Timur.
Calonarang memiliki anak yang cantik bernama Ratna Manggali. Meski cantik, tidak ada satupun pria yang mau meminangnya lantaran takut dengan Calonarang yang diyakini memiliki kekuatan gaib (teluh). Dari anggapan warga Desa Girah tersebut, muncullah label yang dilekatkan bahwa Ratna Manggali sebagai perempuan tidak laku. Mendengar gunjingan itu, Calonarang marah dan meneluh seluruh warga desa Girah hingga hangus terbakar.
Dalam garapan seni tari yang bersifat profan, sendratari Calonarang tidak lepas dari esensi tari Bali dengan gerakannya yang luwes namun bertenaga. Dipadukan dengan pakaian tradisional bali yang sudah dimodifikasi lengkap dengan balutan kain batik bercorak bali di bagian bawahnya.
Sementara itu, tata rias dibuat untuk makin menegaskan garis-garis muka sehingga nampak seperti tata rias karakter, tak jarang penari mengeluarkan sledet sebagai bentuk khas dari tarian Bali. Untuk menambah unsur dramatis, ketika moksa, Calonarang digambarkan menggunakan topeng berwujud leak dengan kuku-kukunya yang panjang menjuntai.
Sendratari Calonarang lebih dari sekadar garapan kreasi, di dalamnya terkandung sebuah counter culture kaum perempuan yang selama ini terkalahkan oleh budaya maskulin. Calonarang di tangan seniman Bali tidak melulu menjadi sesuatu yang sakral dan ajeg, tetapi juga bisa sebagai tontonan yang sifatnya profan dan menghibur. Tidak lengkap rasanya jika ke Bali belum menyaksikan sendratari yang mengangkat kembali cerita rakyat dalam tradisi lisan ini. (Ibo)