Liputan6.com, McPherson - Coba baca kisah ini: polisi di kota Albuquerque sedang mencari lelaki kulit putih atau Hispanik yang mengemudikan Toyota warna merah. Pria itu telah menembakkan senjata apinya ke arah kendaraan lain sehingga menewaskan seorang balita perempuan berusia 4 tahun.
Walaupun penjelasan tentang mobil dan pengemudinya masih buram, kepolisian bisa dengan segera mengenali dan menemukan pembunuh ini. Orang sudah muak dengan kekerasan bersenjata, apalagi jika seorang anak telah menjadi korban.
Advertisement
Pihak kepolisian akan bekerja keras dan media akan membantu untuk memastikan bahwa kisah ini tidak lalu begitu saja. Lalu muncul penawaran hadiah dan petunjuk-petunjukpun berdatangan.
Mari mundur sedikit. Bayangkan hal ini: sesaat, pengemudi Toyota itu hanyalah seseorang yang sedang melintas di jalan raya dan memikirkan kepentingannya sendiri. Menit berikutnya, ia balas membalas dengan seorang pengemudi lain. Siapa yang mengetahui pengemudi yang memulai duluan?
Secara singkat, pengemudi Toyota itu dirundung kemarahan dan memutuskan untuk menembakkan senjatanya ke arah kendaraan lain. Anggaplah si penembak bukan seorang psikopat atau sedang di bawah pengaruh sesuatu pada saat itu, lalu apakah penyebab perilaku demikian itu?
Alat Penguji Agresi
Dikutip dari tulisan di laman Psychology Today pada 21 Oktober 2015, Dr. Lawrence R. James dari Georgia Institute of Technology melakukan penelitian penting tentang motivasi orang yang sangat agresif. Hasil penelitian ini adalah suatu perangkat uji bernama Conditional Reasoning Test of Aggression (CRT-A) yang kemudian dipakai oleh para psikolog untuk menyaring calon pegawai.
Sebagai contoh, dinas kepolisian pastilah ingin mengurangi pelamar dengan kecenderungan agresif karena bisa membahayakan masyarakat dan menjadi beban untuk kesatuan. Untuk keperluan itu, CRT-A merupakan perangkat yang pantas untuk bisa menolak pelamar yang demikian.
Ujian CRT-A ini didasari oleh teori “mekanisme pembenaran” oleh Dr. Lawrence R. James. Jika seseorang terlibat dalam perilaku berkendara yang geram, ia bisa kemudian merasa bodoh dan bersalah karena telah bertindak ceroboh dan kekanakan. Hal ini dikenal dengan cognitive dissonance.
Untuk meniadakan konflik mental, orang ini bisa mencari-mencari pembenaran atas perilakunya: “Mungkin ini bukan kelakuan yang terbaik, tapi siapapun pernah kecewa mengalami situasi itu. Manusiawi sajalah.”
Mungkin benar demikian. Inilah dalihnya: sesekali orang boleh salah atau bodoh, asal tidak ada yang sampai meninggal. Orang-orang yang hiper-agresif bergerak di antara kabut samar perilaku antisosial dan rasionalisasi setengah matang. Kalau tidak demikian, dia tentunya mengalami cognitive dissonance lagi dan lagi.
Contohnya, jika pengemudi Toyota yang sedang menodongkan pistol itu mulai mengalami keraguan atau kegamangan atas tindakannya, ia bisa saja mulai menenangkan diri begini, “merekalah yang meminta hal itu” atau “itu sekedar membela diri” atau “harus ada seseorang yang melakukan ini kepada mereka supaya mereka tidak bisa terus menerus mengemudi seperti itu”, dan lain-lain.
Advertisement
Mekanisme Pembenaran
Dr. Lawrence R. James telah menemukan 6 mekanisme pembenaran yang sering digadang-gadang oleh orang yang hiper-agresif untuk memadamkan cognitive dissonance dan menjadi dalih perilaku buruk:
- Atribusi permusuhan—dunia kejam ini berisi anjing makan anjing
- Potensi—kecenderungan untuk memandang interaksi sosial berdasarkan menang atau kalah
- Dendam—pemikiran mata ganti mata
- Korban oleh yang lain yang digdaya—merasa sekedar jadi korban
- Memandang rendah sasaran—pecundang itu mendapatkan apa yang selayaknya
- Diskon sosial—seseorang mengetahui di mana bisa mencari celah pelanggaran hukum, aturan, dan sopan santun.
Tentu saja kita tidak mengetahui apakah pemarah jalanan di Albuquerque itu memang terus menerus hiper-agresif atau ia memang terpancing hingga tidak dapat mengendalikan kegeramannya satu kali ini saja.
Tapi kita cukuplah mengetahui bahwa kemungkinan besar dari kita tidak mau bekerja bersamanya atau tinggal dekat-dekat dengan orang seperti itu.
Entah ini memang perilaku sejatinya atau sekedar pengecualian, orang itu telah lepas kendali secara agresif dan merasa berhak menyelesaikan masalah dengan tembakan senjata api. Jelas bukan jenis orang yang bisa diandalkan untuk mengendalikan diri.
Suatu kutipan dari seorang psikolog sekaligus pengajar, Dr. Brad Bushman, dengan tepat menjelaskan pemarah itu:
Mungkin kamu pernah mendengar gurauan ini, “Bagaimana caranya bisa sampai di Carnegie Hall?” (Carnegie Hall adalah gedung pertunjukkan kesenian bergengsi yang hanya menampilkan seniman-seniman terpilih).
Jawabnya adalah: “Latihan! Latihan! Latihan!”
Berikutnya, beginilah pertanyaannya: “Bagaimana kamu bisa menjadi seseorang yang pemarah dan agresif?” Jawabannya sama: “Latihan! Latihan! Latihan!”
Jadi, meledak-ledak merupakan latihan untuk berperilaku lebih agresif. Kalau masih percaya bahwa meletupkan amarah sebagai cara terbaik untuk mengeluarkan amarah itu dari dalam sistem di dalam diri, coba pikirkan lagi. (Alx)