Liputan6.com, Jakarta Mungkin saja banyak daerah yang iri kepada Bojonegoro, sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur. Keberadaan lapangan minyak dan gas bumi Banyu Urip dan lapangan minyak Sukowati di daerah ini mampu mempertebal pundi-pundi dolar bagi daerah tersebut.
Kucuran dana bagi hasil (DBH) minyak dan gas bumi yang mencapai rata-rata Rp 1,4 triliun per tahun bisa membuat pemerintah daerah leluasa mengoptimalkan dana tersebut dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dan membangun infrastruktur atau proyek mercusuar yang identik dengan simbol kemajuan dan kemakmuran daerah.
Advertisement
Namun, hal itu tidak membuat silau Bupati Bojonegoro, Suyoto. Bagi kepala daerah yang akrab dipanggil Kang Yoto ini, limpahan cadangan minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam akan habis. Karena itu, minyak dan gas bumi harus dikelola dengan cerdas supaya tetap memberi kesejahteraan jangka panjang bagi masyarakat.
Untuk itu Suyoto mengembangkan sistem pembangunan berkelanjutan demi menjaga keberlangsungan berkah DBH minyak dan gas bumi itu untuk masa depan Bojonegoro.
Sejak memangku jabatan Bupati Bojonegoro di periode 2007-2012, Suyoto langsung membenahi berbagai regulasi dalam pengelolaan DBH migas, sekaligus memberikan iklim investasi yang kondusif bagi investor. Ia pun menginisiasi peraturan daerah (perda) tentang ruang wilayah migas dan pertanian serta perda terkait pemberdayaan masyarakat lokal pada 2011.
Pada perda tersebut, diatur besaran persentase alokasi dana untuk desa tempat wilayah kerja (WK) migas berada dan untuk desa-desa di sekitarnya.
Saat kembali dipercaya masyarakat Bojonegoro hingga 2017 nanti, Kang Yoto meneruskan pembenahan dalam pengelolaan DBH tersebut. Misalnya, ia menginisiasi Perda untuk memperpanjang manfaat DBH bagi masyarakat dengan membentuk dana abadi yang berfungsi untuk mengantisipasi apabila DBH yang diperoleh Bojonegoro tidak lagi cukup untuk membiayai pembangunan atau potensi migas di Bojonegoro sudah habis.
Ada dua sumber dana abadi yang dimungkinkan, yakni 100 persen keuntungan saham partisipasi (participating interest atau PI) dan DBH yang diperoleh sekitar Rp 1,4 triliun per tahun itu. Dengan asumsi pendapatan bunga 6 persen Bojonegoro akan memperoleh tidak kurang dari Rp 84 miliar per tahun.
’’Fokus dana abadi ini hanya untuk pembangunan kualitas manusia. Kami sudah menyiapkan 1.200 pelatihan tenaga kerja tahun ini,’’ ujar Suyoto.
Agar keamanan dana terjaga, penggunaan dana abadi sebesar 90 persen diinvestasikan di sektor keuangan yang paling aman. Bahkan, untuk menjamin efektivitas penggunaan dana keuntungan, badan pengawas harus mengawasi.
"Dalam rangka menjaga sifat keabadian dana abadi, dibuat perda. Dengan demikian, dana tersebut tidak dapat diubah, kecuali dengan persetujuan rakyat Bojonegoro," tutur Suyoto.
Selain itu, saat membuat estimasi pendapatan DBH yang akan dimasukkan dalam APBD ia sangat berhati-hati. Dirinya selalu berupaya menghasilkan silpa (sisa lebih pembiayaan anggaran) yang besar, tujuannya sebagai antisipasi bila DBH tidak terealisasi, secara teknis sudah ada dana segar yang menjadi cadangan.
Kang Yoto pun menginvestasikan dana ke Bank Jatim dalam jumlah besar, bahkan kini Bojonegoro adalah pemilik saham terbesar keempat di Bank Jatim.
“Untuk 2016, setor modal di Bank UMKM Jatim ditargetkan hingga Rp 100 miliar atau menjadi pemilik saham terbesar kedua setelah Pemprov Jatim. Sementara itu, di Bank Perkreditan Rakyat (BPR), modal yang disetor diharapkan mencapai Rp 400 miliar. Selain untuk investasi, sekaligus dimaksudkan untuk mendorong iklim usaha bagi rakyat Bojonegoro,’’ ujarnya.
Cerdas mengelola DBH Migas yang dilakukan Kang Yoto untuk Bojonegoro adalah contoh nyata memaksimalkan dana yang didapat untuk memberi manfaat menunjang pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sebagai kekayaan alam yang tidak bisa diproduksi secara instan, migas dikelola langsung oleh pemerintah yang diwakili oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang bekerja sama dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (Kontraktor KKS) Migas. Pembagian porsi hasil penjualan minyak dan gas bumi itu juga diatur oleh pemerintah pusat.
Pengelolaan kekayaan migas negara
Setiap kerja sama pengelolaan proyek hulu minyak dan gas bumi, SKK Migas dan Kontraktor KKS Migas menandatangani Kontrak Kerja Sama Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC). Jadi, pembagian lifting (produksi minyak dan gas bumi yang terjual) antara pemerintah dan Kontraktor KKS akan dilakukan sesuai kesepakatan dalam kontrak.
Setelah itu, Kontraktor KKS Migas memulai kegiatan eksplorasi untuk menemukan sumur minyak dan gas bumi. Bila menemukan cadangan komersial, Kontraktor KKS Migas meneruskan kegiatan ekploitasi atau produksi. Dalam tahapan ini, SKK Migas memastikan Kontraktor KKS bisa berkonsentrasi mengoptimalkan lifting minyak dan gas bumi di wilayah kerja mereka.
Tugas SKK Migas dan Kontraktor KKS Migas selesai setelah lifting minyak dan gas bumi bagian negara berhasil dikomersialisasikan, dan uang yang dihasilkan dari penjualan migas disetorkan langsung ke rekening migas di Kementerian Keuangan, bukan dibayarkan melalui rekening SKK Migas.
Selanjutnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bertugas membagi lifting migas bagian negara per provinsi dan per kabupaten/kota.
Lalu, Kementerian ESDM akan menggunakan laporan lifting per Kontraktor KKS Migas yang dilaporkan SKK Migas sebagai bahan pembanding dan alat kontrol ketika melakukan evaluasi lifting per daerah penghasil.
Setelah melewati proses review dan evaluasi, Kementerian ESDM akan mengeluarkan Keputusan Menteri ESDM tentang alokasi lifting per daerah penghasil migas.
Proses pembagian Dana Bagi Hasil
Proses masih berlanjut dengan verifikasi laporan lifting negara yang diterima dari SKK Migas setiap bulan oleh Kementerian Keuangan. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan uang yang diterima di rekening Kementerian Keuangan di Bank Indonesia sama besarnya laporan dengan SKK Migas. Hasil verifikasi itulah yang menjadi acuan Kementerian Keuangan dalam menghitung penerimaan negara bersih per Kontraktor KKS.
Laporan ini bersama laporan lifting per daerah penghasil dari Kementerian ESDM kemudian diolah oleh Kementerian Keuangan sehingga diperoleh DBH minyak dan gas bumi yang selanjutnya akan dialokasikan kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Pengasil, dan Pemerintah Daerah Non Penghasil Migas. Pengalokasian dana bagi hasil ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan.
Payung hukum lain pengalokasian DBH migas adalah Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.Regulasi ini mengatur bahwa penerimaan minyak bumi, setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lain, dibagi dengan imbangan 84,5% untuk pemerintah pusat dan 15,5% untuk daerah.
Dari angka 15,5% ini, 0.5% dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar pada daerah bersangkutan. Sisanya sebesar 15% dibagi dengan rincian: 3% untuk provinsi; 6% untuk kabupaten/kota penghasil; dan 6% untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
Sedangkan penerimaan gas bumi, pembagiannya adalah 69,5% untuk pemerintah pusat dan 30,5 % untuk daerah. Sejumlah 0,5% dari hak daerah ini akan dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar pada daerah bersangkutan. Sisanya, 30% dibagi dengan rincian 6% untuk provinsi; 12% untuk kabupaten/kota penghasil; dan 12% untuk kabupaten/kota lain. Hal itu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No.55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
Hal yang menyebabkan DBH tidak mengalir
Penerimaan dari DBH minyak dan gas bumi memang menjadi andalan pendapatan asli daerah dan masuk dalam Anggarapan Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setiap tahunnya untuk mendanai pembangunan daerah. Namun, yang harus diketahui, DBH minyak dan gas bumi belum akan mengalir di saat proyek minyak dan gas bumi masih berada dalam tahapan kegiatan eksplorasi.
Pada fase ini Kontraktor KKS minyak dan gas bumi sedang melakukan pencarian minyak dan mengeluarkan banyak dana untuk berbagai kegiatan, termasuk survei seismik dan pengeboran eksplorasi. Karena, belum tentu setiap kegiatan eksplorasi bisa menemukan cadangan migas yang layak dikembangkan.
Pada awal eksploitasi dan produksi penerimaan hasil lifting pemerintah pusat dan pemerintah daerah belum menerima bagian dari DBH minyak dan gas bumi. Pihak Kontraktor KKS harus melakukan pengembalian biaya operasional (cost recovery) mulai fase eksplorasi hingga produksi awal, membayar pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bumi dan bangunan (PBB) migas, biaya domestic market obligation (DMO), pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD).
Setelah DBH minyak dan gas bumi dapat mengalir, ada hal yang harus menjadi catatan. Yaitu, kekayaan alam tidak bisa diperbaharui, sehingga produksi migas bisa menurun karena berkurangnya cadangan, hambatan alam atau tengah dilakukan perawatan teknis terhadap infrastruktur hulu migas. Otomatis DBH minyak dan gas bumi pun akan berkurang.
Belum lagi bila terjadi kenaikan faktor pengurang (misalnya PBB migas dan PPN yang meningkat), dan kelebihan penyaluran DBH minyak dan gas bumi pada triwulan sebelumnya sehingga penyaluran pada triwulan berikutnya dikurangi. Semua penyebab penurunan DBH minyak dan gas bumi itu saling terkait.
Bahkan, kenaikan harga minyak bumi kadang tidak selalu diikuti dengan kenaikan DBH minyak dan gas bumi yang diterima pemerintah daerah.
Kenaikan harga minyak memang akan meningkatkan penerimaan kotor (gross revenue) pemerintah dari penjualan migas. Namun, penerimaan negara bersih (net revenue), yaitu penerimaan yang menjadi hak negara adalah penerimaan kotor setelah dikurangi kewajiban dalam PSC.
Makanya, apa yang dilakukan oleh Pemda Bojonegoro sudah benar, karena DBH minyak dan gas bumi dialokasikan untuk membangun ketahanan ekonomi daerah dari sektor nonmigas.
Hal ini sebagai antisipasi daerah agar tetap bisa bertahan meski cadangan migas habis. Hanya dengan mengelola DBH minyak dan gas bumi secara cerdas, kekayaan alam ini bisa menjadi berkah bagi masyarakat daerah.
(Adv)