Liputan6.com, New Orleans - Ini kisah nyata. Sejumlah orang di dunia secara teratur mengkonsumsi darah manusia. Tak berpenampilan aneh, beberapa dari mereka justru terlihat wajar. Ada yang berlatar belakang perawat, sekretaris, pegawai bar, dan lain-lain.
Pertanyaannya, mengapa mereka minum darah?
Di French Quarter, New Orleans, John Edgar Browning merelakan darahnya diminum orang lain.
Seorang kenalannya mengoleskan alkohol ke punggung tangan Browning. Menggunakan pisau tajam, ia mengiris lapisan kulit hingga darah mengalir.
Orang itu kemudian mendekatkan bibirnya ke luka dan menghisap cairan merah yang ke luar dari sana. Mereka sedang melakukan ritual blood-feeding.
"Ia meminumnya beberapa kali, lalu membersihkan lukaku dan membungkusnya dengan perban," kata Browning, seperti dikutip dari BBC, Senin (26/10/2015).
Namun, dia menambahkan, rasa darahnya kurang memuaskan bagi "penikmatnya". "Katanya darahku tak terlalu kaya zat besi seperti yang seharusnya, sehingga ia merasa sedikit kecewa," ucap Browning.
Pola makan, hidrasi atau kadar air dalam tubuh, dan golongan darah konon menentukan rasa darah manusia.
Setelah luka dibersihkan, Browning dan kenalannya itu pergi ke acara makan malam gratis yang digelar untuk para tunawisma.
Browning mengaku ia sebenarnya fobia suntik. "Aku ngeri ketika benda tajam mendekati kulitku," kata dia.
Namun sebagai peneliti dari Louisiana State University, mau tak mau ia harus menjalankan projeknya: studi etnografi tentang komunitas "vampir sungguhan" di New Orleans. Ia berperan jadi pensuplai darah.
Apakah blood-feeding adalah ritual keyakinan, delusi, fetish, atau ritual pemujaan?
Sebelum bertemu dengan "vampir" itu, Browning terjebak antara fakta dan fiksi. Namun setelah penelitian dan menawarkan diri sebagai donor, pendapatnya berubah 180 derajat.
Vampir betulan yang ia temui tak percaya dengan hal-hal supranatural serta hanya punya sedikit pengetahuan sedikit lebih banyak dari apa yang didapat orang dari serial televisi True Blood atau novel Drakula. Mereka juga tak punya masalah kejiwaan.
Kebanyakan dari para "vampir" justru mengaku menderita kondisi medis aneh, seperti rasa lelah bukan main, sakit kepala parah, dan sakit kepala menyiksa, yang mereka yakini hanya bisa disembuhkan dengan mengkonsumsi darah manusia lain. Dengan kata lain, mereka mengonsumsi darah sebagai obat.
"Ada ribuan orang yang melakukannya. Jumlah itu hanya di Amerika Serikat. Saya tak merasa itu adalah kebetulan, bukan juga sekadar iseng. Gejala dan perilaku mereka masih menjadi misteri."**
Advertisement
Organisasi Rahasia Para Vampir
Untuk banyak orang di dunia, 'vampir' adalah tabu. Apalagi vampir sering dikaitkan dengan kasus pembunuhan mengerikan, seperti dalam kasus Rod Ferrell di AS.
Pada 1996 Rod Ferrell, pemimpin sekte "Vampire Clan," membunuh dua orang di Florida. Ia mengaku sebagai vampir berusia 500 tahun bernama Vesago--karakter yang ia ciptakan setelah terobsesi game Vampire: The Masquerade.
"Saat orang bicara tentang orang yang mengaku vampir, yang terlintas adalah gambaran-gambaran mengerikan," kata DJ Williams, sosiolog dari Idaho State University.
"Karena itulah, kelompok peminum darah merahasiakan eksistensinya dan curiga pada orang luar," ujar DJ Williams.
Sejarah mencatat sejumlah kasus di mana darah diyakini sebagai pengobatan medis. Pada akhir abad ke-15, misalnya, dokter yang merawat Paus Innocent VIII diduga menguras darah tiga pria muda dan memberikan cairan merah yang masih hangat ke tuannya yang sekarat. Tujuannya adalah agar energi kemudaan menyembuhkan tubuh pasien yang renta.
Dulu darah juga digunakan dalam perawatan epilepsi. Para penderita yang bernyali berkumpul di sekitar tiang gantungan atau lokasi eksekusi mati, mengumpulkan darah hangat yang mengalir dari kriminal yang baru dieksekusi. "Darah dianggap perantara antara fisik dan spiritual," ujar Richard Sugg dari University of Durham.
Pengobatan ekstrem tersebut tak lagi populer pada Abad Pencerahan (Enlightenment). Namun tak sepenuhnya hilang hingga saat ini.
Mereka yang dulu menutup diri kini mulai menampakkan diri di dunia maya. "Setiap kota utama di dunia bisa dipastikan memiliki kelompok vampir," kata Williams.
Advertisement
Pengakuan Para 'Vampir'
Vampirisme muncul dalam berbagai bentuk. Anggota komunitas peminum darah punya latar belakang profesi beragam. Ada yang sekretaris, perawat, pegawai bar. Sebagian rajin beribadah, ada juga yang ateis.
"Para vampir tak selalu tersembunyi di sekitar kuburan, menghadiri kelab malam gotik, atau menggelar pesta pora minum darah," kata John Edgar Browning, peneliti vampir.
Salah satu organisasi peminum darah, Merticus, bahkan memberi makan para tunawisma, menjadi relawan penyelamatan hewan, dan berpartisipasi dalam penanganan masalah sosial.
Mengapa orang sampai meminum darah manusia?
CJ salah satunya, ia menderita iritasi usus. Menurut perempuan itu, penyakitnya hanya bisa disembuhkan dengan meminum darah.
"Setelah mengkonsumsi darah dalam jumlah tertentu, sistem pencernaanku jadi luar biasa berfungsi," kata dia.
Rekan CJ, Kinesia juga mengalami hal sama. "Aku merasa 100 persen lebih baik, kemampuan berpikirku makin tajam. Bisa memakan apapun dan tak mengalami sakit sendi atau nyeri otot," kata dia.
Menurut Kinesia, khasiat darah yang ia minum bisa bertahan hingga dua minggu.
Karena tak semua orang bisa mengerti kondisi mereka, para pendonor biasanya berasal dari orang-orang dekat, seperti sahabat atau suami.
Hingga kini, dalam kasus CJ maupun Kinesia, belum ada dokter yang bisa menjelaskan penyakit mereka.
Seiring berkembangnya waktu, komunitas peminum darah manusia lebih terbuka pada orang luar.
Kelompok yang dipimpin Kinesia, misalnya, menggandeng perusahaan komersial 23andme dan uBiome, berusaha membuat profil gen dan mikrobiom mereka yang menggunakan darah manusia untuk pengobatan.
"Inti dari yang kami lakukan adalah bukan untuk mendapatkan validasi atas 'vampirisme' kami, tetapi menemukan cara untuk mengisi kekurangan yang kami miliki. Atau dengan kata lain, kami mencari opsi perawatan lain," kata CJ. (Ein/Tnt)
Baca juga: Kisah Bangsawan Sadis, 'Mandi Darah Perawan' Demi Cantik Abadi