Liputan6.com, Jakarta - Ekonom DBS Group Research Gundy Cahyadi menampik anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) membuat Indonesia dilanda krisis ekonomi seperti tahun 1997-1998.
Dia menerangkan, saat krisis, Indonesia ditemani oleh anjloknya nilai tukar mata uang tiga negara lain yakni Thailand, Malaysia, dan Korea Selatan. Pelemahan mata uang mencapai 50 persen terhadap dolar AS.
Namun, kondisi saat ini masih jauh karena empat negara rata-rata hanya melemah 15 persen terhadap dolar AS.
"Kalau kita lihat 1997-1998 empat negara kena krisis Thailand, Malaysia, Indonesia dan Korea. Kita lihat sampai Juli 4 mata uang krisis bath, ringgit won, rupiah melemahnya sebanyak mana dibanding dolar Amerika Serikat (AS). Rata-rata indeksnya 100, baru 85 sudah melemah 15 persen," kata dia di Jakarta, Selasa (27/10/2015).
Gundy mengatakan, jika krisis ekonomi terjadi seharusnya rupiah juga melemah sangat jauh di bawah mata uang dunia lainnya seperti yen dan euro.
"Yang terjadi sekarang adalah kalau dibandingkan 4 mata uang ini, terhadap dengan 3 mata uang dunia yen, euro dan dolar setahun terakhir mereka stabil. Tidak ada krisis bath, ringgit, won, rupiah mereka stabil. Yang ada bahwa euro dan yen sudah melemah, " tuturnya.
Dia menegaskan, krisis terjadi jika rupiah melemah drastis terhadap tiga mata uang utama yen, euro dan dolar AS.
"Kalau krisis gambarannya seperti 1997-1998 melemah 50 persen konsisten. Mereka juga melemah 50 persen ke tiga mata uang ini. Tapi gambarannya beda dengan 1997-1998," tandas dia.
Devaluasi yuan
Advertisement
Gundy berpendapat sikap pemerintah China mendevaluasi mata uang yuan bukanlah kepanikan atas melemahnya perekonomian China.
Dia menerangkan, melemahnya perekonomian China merupakan sebuah proses yang natural karena telah tumbuh cukup tinggi. Jadi, untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi merupakan hal yang sulit.
Bahkan, dia menilai kecenderungan perekonomian China akan terus melambat.
"Walaupun laju pertumbuhan melemah bukan berarti akan crash landing ini suatu yang natural," kata dia.
Dia mengatakan, devaluasi mata uang merupakan salah satu langkah China untuk mereformasi perekonomiannya. Menurutnya, saat ini pemerintah China ingin supaya Yuan berorientasi pasar.
"Salah satu alasan kenapa melakukan devaluasi di Agustus kalau kita ingat mereka mendapatkan patokan nilai tukar tiap hari berdasarkan penutupan di hari sebelumnya," ujarnya.
Dia mengatakan, ada kemungkinan melemahnya pertumbuhan ekonomi China sebuah kesengajaan. Dia bilang, China ingin mengangkat peran konsumsi sebagai basis ekonomi dari sebelumnya ditopang oleh investasi dan ekspor.
"Jadi kalau tiap bulan tingkat investasi menurun, ekpor turun ada indikator by design itu yang mau mereka tunjukan, ke depan mau didukung oleh konsumsi, jadi melihat adanya kepanikan di market crash landing kita nggak setuju dengan itu. Kita tetap China ekonomi terkuat, potensi tinggi meskipun laju ekonomi melemah," tandasnya. (Amd/Ndw)