Sumpah Pemuda dan Sepak Bola Indonesia

Terinspirasi Sumpah Pemuda, PSSI pun lahir dan membuat sepak bola Indonesia punya sejarah sebagai alat pemersatu.

oleh Luthfie Febrianto diperbarui 28 Okt 2015, 19:03 WIB
Sekitar 35 ribu suporter memenuhi Stadion GBK Jakarta, Senin (5/5/2014). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta Hari ini, 87 tahun yang lalu, pemuda-pemudi negeri ini berkumpul untuk satu cita-cita: mewujudkan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tiga sumpah untuk bertumpah darah, berbangsa, dan berbahasa satu yakni Indonesia mereka kumandangkan untuk mengobarkan semangat nasionalisme.

Gelora Sumpah Pemuda kemudian tak hanya bergema di bidang politik, tapi juga olahraga khususnya sepak bola. Terinspirasi Sumpah Pemuda, Soeratin Sosrosoegondo pun tergerak membentuk sebuah organisasi yang menyatukan persepakbolaan Tanah Air. Pada 20 April 1930, Soreatin yang menjabat sebagai ketua Voetbalbond Indonesische Jakarta (VIJ) menggagas terbentuknya sebuah organisasi persepakbolaan nasional yang bertujuan melawan penjajah.

Pertemuan diikuti sejumlah klub sepak bola, seperti  BIVB Bandung,), PSIM Yogyakarta, PPSM Madiun, IVBM Magelang, SIVB Surabaya, dan VVB Solo, serta pesepakbola profesional. Organisasi yang terbentuk kemudian diberi nama Persatoean Sepak Raga Seloeroeh Indonesia dan diketuai oleh Soeratin.

Proses terbentuknya PSSI dan Sumpah Pemuda pun mirip: Para bond (persatuan) berkumpul, menanggalkan kepentingan dan ego individu untuk kemudian mendeklarasikan diri untuk bersatu. Dalam sejarah sepak bola Indonesia, terbentuknya PSSI adalah torehan manis bagi budaya persatuan di negeri ini.

Sejak itu, sepak bola Indonesia punya makna lebih yakni sebagai alat pemersatu bangsa melawan kolonialisme Belanda.


Tonggak Kelahiran Timnas

Lahirnya organisasi yang kini dikenal dengan sebutan PSSI itu juga bermuara pada terbentuknya tim nasional Indonesia. Sejarah timnas Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak Piala Dunia kedua digelar 1938 lalu. Namun saat itu, tim yang tampil tidak mengatasnamakan Indonesia melainkan masih berbendera Nederlandsche Indische atau Hindia Belanda dengan bendera Nederlaandche Indiche Voetbal Unie alias NIVU yang terbentuk 1935.Namun saat itu PSSI tidak ingin timnas berada di bawah bayang-bayang Belanda. PSSI pun tidak bersedia melepas pemain-pemainnya ke tim tersebut. Rata-rata pemain yang tampil merupakan masyarkat pribumi yang bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda. Di laga perdana Tim Hindia Belanda pun kalah 0-6.

Meski demikian, kekalahan ini tidak melunturkan semangat Indonesia untuk mengukir prestasi. Meski di tengah perang merebut kemerdekaan yang berkecamuk, kompetisi tetap digulirkan. Bahkan di kala Piala Dunia berhenti karena perang Dunia terjadi mulai 1939. Ini adalah pondasi terbentuknya timnas.

Tahun 1950, menjadi momen penting bagi pembentukan Timnas Indonesia sesungguhnya. Lewat Kongres yang digelar di Semarang, PSSI akhirnya memutuskan untuk mengirim tim yang mewakili Merah Putih di Asian Games I di New Delhi pada 1951. Sebanyak 18 pemain terpilih di bawah asuhan pelatih asal Singapura, Seng Quee. Sayang, di partai pertama Indonesia kalah 0-3 dari India dan terpaksa harus angkat koper lebih awal. 

Selepas itu, Indonesia pun mulai tampil di berbagai ajang dunia. Mulai dari Olimpiade Melbourne 1956 dan sempat menahan imbang Uni Soviet 0-0 di leg pertama. Namun pada pertemuan kedua, Indonesia menyerah dengan skor 0-4 dan tersingkir. Sejak itu, berbagai turnamen diikuti oleh timnas Indonesia. Bahkan Tim Merah Putih pernah berjaya merebut medali perunggu saat tampil di Asian Games 1958 yang digelar di Tokyo, Jepang. Sedangkan di Asia Tenggara, Merah Putih pernah berkibar di ajang SEA Games 1991 di Manila, Filipina. Ini adalah gelar juara terakhir timnas di kancah internasional. 

Selanjutnya prestasi Timnas mulai melorot. Tergerusnya semangat nasionalisme dan persatuan yang menjadi tonggak terbentuknya PSSI dan Timnas membuat sepak bola Indonesia kian terpinggirkan. Jangankan mengukir prestasi di kancah internasional, di dalam negeri sepak bola kita kini mati suri. PSSI sebagai federasi sepak bola Tanah Air justru terlibat konflik dengan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).

Akibatnya, kompetisi terhenti. Indonesia juga semakin terkucil dari kancah internasional setelah FIFA menjatuhkan sanksi sejak 30 Mei lalu. Banyak pesepak bola yang kehilangan pekerjaan. Sektor bisnis juga kena imbasnya. Para produsen mechandise dan asesoris klub banyak yang gulung tikar. Dan gara-gara lama tak bertanding, rangking Indonesia juga terjun bebas. Dalam rilis terakhir FIFA, saat ini Indonesia menempati peringkat ke-171 dunia.

Kedua kubu merasa sama-sama merasa benar. Pemerintah beralasan pihaknya terpaksa turun tangan demi memperbaiki tata kelola sepak bola yang dianggap bobrok. Sebaliknya, PSSI menilai bahwa domain tersebut merupakan wewenangnya dan merasa pemerintah sudah bertindak terlalu jauh.


Momentum Piala Presiden

Mantan Presiden Amerika Serikat, Theodore Roosevelt pernah berkata: Semakin kita tahu masa lalu, semakin lebih baik persiapan kita untuk masa depan. Bung Karno juga berkata tak kalah hebatnya: Jas Merah, Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Maka, jika mengacu pada ucapan Roosevelt dan Bung Karno, para stake holder sepak bola di negeri ini sebaiknya melihat kembali perjalanan sejarah sepak bola Indonesia dan semangat Sumpah Pemuda. 

Roh persatuan yang diusung oleh Sumpah Pemuda telah banyak memberikan manfaat bagi pembangunan negeri ini. Begitu juga dengan sepak bola Indonesia. Bahkan dengan kolaboriasi yang kuat di antara seluruh pemangku kepentingan, sesuatu yang dianggap mustahil tidak jarang akhirnya bisa terwujud.

Persatuan itu jugalah yang membuat final Piala Presiden 2015 di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan, Jakarta, Minggu (18/10/2015) berjalan sukses. Awalnya banyak yang meragukan duel ini bisa digelar di Ibu Kota. Maklum, salah satu finalis yang bakal tampil adalah Persib Bandung yang dikenal sebagai musuh bebuyutan tim Persija Jakarta. Dalam beberapa tahun terakhir, fans Persib sudah tidak pernah bertandang ke Jakarta, begitu juga sebaliknya.

Meski di final Persib tidak bertemu Persija, potensi gesekan tetap besar. Apalagi setelah pendukung Persija Jakmania sempat menolak final digelar di GBK. Namun berkat kerjasama semua pihak, duel akhirnya bisa berlangsung di stadion legendaris tersebut. Meski letupan kerusuhan tak seluruhnya bisa dipadamkan, puluhan ribu bobotoh--sebutan bagi pendukung Persib- pun tetap bisa hadir di GBK menyaksikan Maung Bandung meraih gelar juara.

Di babak final tim besutan Djadjang Nurdjaman tersebut berhasil mengalahkan Sriwijaya FC dengan skor 2-0.

Bagi Steering Committee Piala Presiden 2015 Maruarar Sirait, ini merupakan momentum bagi kebangkitan sepak bola Indonesia. Menurutnya, kunci untuk membenahi sepak bola nasional adalah persatuan. Mengutip pesan Bung Karno: Bersatu karena kuat, kuat karena bersatu! Menurutnya, pihak penyelenggara tidak akan mampu mewujudkan hal itu tanpa bantuan dari semua pihak, baik pemerintah, federasi, hingga para pelaku sepak bola Tanah Air.

"Di sini tidak ada superman, yang ada super team," ujarnya mengomentari final Piala Presiden 2015. Bagi Maruarar, senjata ini juga ampuh dalam membenahi sepak bola Indonesia ke depannya. "Intinya harus bisa saling menghargai. Tidak bisa ada ego yang menonjol. Harus bersama-sama. Persatuan itu penting."

Kini, tinggal menunggu kemauan para pemangku kepentingan untuk mengesampingkan ego lalu menapaki batu tapal itu dan kemudian merangkai jalan menuju sepak bola Indonesia yang memiliki ruh persatuan. Persatuan yang akhirnya menguatkan sepak bola itu sendiri dan bermuara pada prestasi Timnas. (Lut/Rco)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya