China Akhiri Kebijakan Satu Anak

Sebagai negara dengan populasi terbanyak di dunia, China memiliki kebijakan satu anak sejak 1979.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 31 Okt 2015, 10:00 WIB
Sebagai negara dengan populasi terbanyak di dunia, Cina memiliki kebijakan satu anak sejak 1979.

Liputan6.com, Jakarta Sebagai negara dengan populasi terbanyak di dunia, China memiliki kebijakan satu anak sejak 1979. Namun belum lama ini muncul kebijakan baru yang memperbolehkan keluarga memiliki lebih dari satu anak.

Presiden Xin Jinping telah mengumumkan akhir kebijakan satu anak yang sangat kontroversial. Mereka menganggap tambahan satu anak dapat meredakan kondisi perekonomian negara karena kekurangan tenaga kerja dan menggantikan populasi lansia dengan cepat.

Di sisi lain, para ahli justru menilai kebijakan ini sangat terlambat karena banyak orang desa pindah ke kota dan mulai nyaman dengan satu anak. Tak hanya itu, pegiat hak asasi manusia terlanjur mengeluarkan pernyataan bahwa banyak perempuan dipaksa melakukan aborsi karena hamil anak kedua.

Kebijakan lama dinilai telah mengakar hingga pelosok daerah. Saat ini wanita di China putus asa bila janin yang dikandungnya ternyata perempuan. Mereka tak segan membunuh bayi yang baru lahir dan beranggapan bayi mereka harus laki-laki untuk membantu mencari nafkah.

Menurut media setempat, kebijakan lama telah menciptakan ketidakseimbangan gender begitu parah, sehingga sekarang ada 117 anak laki-laki lahir untuk setiap 100 anak perempuan. Diperkirakan pada tahun 2020 akan ada 30 juta bujangan di China, yang akan kesulitan mendapatkan istri.

Daily Mail, Jumat (30/10/2015) melaporkan saat ini diperkirakan China memiliki 1,4 miliar jiwa dengan 30 persen di antaranya berada di usia lebih 50 tahun. Hal ini mempengaruhi kondisi ekonomi dan sosial di negara itu.

Seorang profesor ekonomi di Universitas Zhejiang, Xie Zuoshi, mengatakan kontroversi ini menimbulkan kekhawatiran poligami bagi masyarakat China. Untuk mengatasi krisis, kebijakan satu anak mesti ditinggalkan karena dapat mendorong kejahatan.

Di sisi lain, ahli reproduksi di University of East Anglia, Dr Anna Smajdor, berpendapat kebijakan baru ini terlambat untuk mengejar ledakan populasi karena saat ini tingkat kelahiran rendah, terutama di kalangan wanita berpendidikan.**

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya