Kenapa Halloween dan Jumat Kliwon Selalu Menakutkan?

Perayaan Halloween selalu diidentikkan dengan mitos yang terkait dengan hantu dan setan.

oleh Gabriel Abdi Susanto diperbarui 30 Okt 2015, 17:00 WIB
Apakah kamu termasuk orang yang merayakan festival horror tahunan ini?

Liputan6.com, Jakarta Perayaan Halloween selalu diidentikkan dengan mitos yang terkait dengan hantu dan setan. Ini karena dalam sejarahnya, Halloween yang sebenarnya merupakan pesta jelang tahun baru yang dirayakan tiap tanggal 1 November oleh Kaum Celtic (sekarang tinggal di wilayah Iralandia, Inggris, dan Prancis bagian utara) yang hidup 2.000 tahun lalu merupakan momen saat dunia hidup dan mati tak berbatas.

Momen ini ditandai dengan berakhirnya musim panas dan bermulanya musim dingin serta selalu dikaitkan dengan kematian manusia. Orang-orang Celt ini percaya bahwa di malam menjelang tahun baru ini, batas antara dunia manusia dan orang mati menjadi tak jelas, blur alias tidak ada batasnya.

Pada 31 oktober malam itulah dirayakan festival Samhain, yang diyakini sebagai saat bangkitnya hantu-hantu yang telah mati. Banyak orang berkumpul memakai kostum kepala hewan atau makhluk-makhluk halus lain.

Sama dengan orang-orang Eropa ini, orang Jawa juga punya keyakinan tentang momen penting yang selalu menjadi saat menegangkan bagi anak-anak zaman modern yang tak tahu latar belakang cerita, semisal hari kliwon.

Penanggalan Jawa ini menjadi menakutkan di kalangan banyak orang modern, terutama bila sudah sampai pada rotasi saat hari Jumat bertemu dengan pasaran Kliwon, Jadilah Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon.

Orang selalu berpikir tentang hal-hal yang gaib, setan, dan semua yang terkait dengan hal-hal menakutkan seperti juga Hallowen. Padahal, dalam kasanah budaya Jawa, Hari Selasa atau Jumat Kliwon menjadi istimewa bukan karena saat itu banyak setan gentayangan melainkan merupakan saat turunnya 'kesaktian Tuhan', yang disebut hari yoni.

Asumsi penganut mistik kejawen, barokah atau berkat sering juga identik dengan daya kasekten atau kesaktian. Manusia yang mendapat berkah pasti akan mendapatkan daya linuwih (kekuatan hidup yang lebih).

“Karena itu orang Jawa zaman dahulu berpuasa selama 40 hari dengan puncak puasa yang berakhir pada malam Jumat kliwon. Meski orang saat ini hanya mengambil tiga hari puasa untuk mewakili 40 hari puasanya mulai hari Rabu Wage, Kamis Pon, puncaknya tetap malam Jumat Kliwon,” kata RP Suraksotarwono, Juru Kunci sekaligus sesepuh warga di Pantai Parangsumo.

Menurut posisi struktur perhitungan penanggalan Jawa, pasaran kliwon memang ada di tengah, analog juga dengan pasar kliwon. Itulah sebabnya mistik kejawen yang bernuansa donga (doa) spiritual dalam segala hal, diharapkan melalui pemilihan hari yang tepat akan mudah terkabulkan apa yang dicita-citakan.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya