Liputan6.com, Jakarta Di novel tipis Le Petit Prince atau The Little Prince, pada lembar persembahannya, Antoine de Saint-Exupery menulis begini, "Kepada anak-anak aku mohon maaf karena mempersembahkan buku ini kepada seorang dewasa… Semua orang dewasa pernah menjadi anak-anak. (Sekalipun hanya sedikit yang ingat)."
Kalimat di halaman pertama novelnya itu yang terus terngiang ketika saya pertama baca Le Petit Prince. Tentu saja saya baca ketika sudah dewasa—dari edisi terjemahan terbitan Gramedia tahun 2011.
Sebuah kisah anak—entah dongeng, novel atau film—ada yang ditujukan bagi anak-anak saja dan ada yang ditujukan bagi orang dewasa. Le Petit Prince menurut saya masuk kategori kedua. Pesan yang ingin disampaikan si pengarang justru bukan untuk anak-anak, melainkan pembaca dewasa.
Novel ini pertama terbit 1943. Sejak itu dongeng si pangeran cilik memikat orang di seluruh dunia hingga dicetak 145 juta buku. De Saint-Exupery, sang pengarang, seorang mantan penerbang. Pada 30 Januari 1935, pesawat yang diterbangkannya jatuh di gurun pasir Libya. Ia nyaris mati kehausan selama tiga hari sebelum diselamatkan.
Kisah bertahan hidupnya lalu ia tuangkan di buku Terre de Hommes (Bumi Manusia). Saat Perang Dunia II berkecamuk, de Saint-Exupery bergabung dengan skuadron pesawat pengintai Prancis. Ketika tanah kelahirannya dijajah Nazi Jerman, ia mengasingkan diri ke Amerika dari 1941 sampai 1943. Di sana ia menulis dan menerbitkan Le Petit Prince.
Baca Juga
Advertisement
Kembali ke Prancis, de Saint-Exupery memaksa diizinkan terbang lagi. Namun nahas, nasibnya kemudian tak diketahui saat menerbangkan pesawat Sekutu di wilayah Mediterania pada 31 Juli 1944. Hampir pasti ia ditembak jatuh di laut oleh pihak Jerman.
Di biografi singkat di ujung novel terjemahan Le Petit Prince disebutkan:
“Novel ini ditulis dalam masa perang oleh pria dewasa yang senang in action, yang dipaksa nonaktif, dan dibayangi situasi kritis di negara asalnya, membuat mereka yang akrab dengan kehidupan dan kematian de Saint-Exupery berpendapat Le Petit Prince adalah sepotong autubiografi—upaya untuk meredam kesulitan pernikahannya, atau untuk menangkis masa kini agar bisa terus mengenang dunia kanak-kanak, atau bahkan merupakan ucapan selamat tinggal atas kepergiannya yang misterius.”
Apa pun itu, yang jelas novelnya amat memikat. Di dalam kesederhanaan tuturnya, orang dewasa yang membacanya pastilah merasa tertampar. Terutama mendapati kenyataan kita telah tumbuh dewasa dan kian melupakan jiwa kanak-kanak kita.
Intisari tersebut yang terekam pula di film adaptasinya berwujud animasi 3D ini, The Little Prince.
Dibuat Sutradara Kung Fu Panda
Menonton The Little Prince versi layar lebar ini yang terasa justru filmnya terasa seperti film animasi buatan Pixar. Tengok perwajahan dan desain karakter tokoh-tokohnya, mirip film buatan Pixar. Adegan awalnya seperti berlangsung dalam satu semesta yang sama dengan The Incredibles atau Up.
Saya pun merasa film ini bakal disukai pentolan Pixar macam John Lasseter, Andrew Stanton atau Pete Docter. Sebab, tema dewasa dengan gaya penceritaan kisah anak-anak begini khas Pixar. Bisa juga kita tengarai lebih jauh, film-film Pixar bisa jadi terinspirasi dari ramuan novel de Saint-Exupery ini, yakni bagaimana memikat penonton dewasa dengan dongeng anak-anak.
Hanya saja, The Little Prince versi 2015 terasa kurang megah bila dibandingkan dengan film-film Pixar masa kini. Bila dianalogikan, The Little Prince seperti sebuah film indie kecil (dan memang begitu!). Dan sebagaimana nasib film kecil lain saat tayang di bioskop yang mungkin penontonnya tak banyak. Tapi seiring waktu bakal kian banyak yang memujanya, filmnya bakal kian dicari.
Digarap Mark Osborne (sebelumnya membuat Kung Fu Panda) bersama penulis skenario Irena Brignull dan Bob Persichetti, yang tersaji adalah semacam adaptasi bebas novel The Little Prince.
Ketiganya mengambil model penceritaan versi layar lebar Life of Pi yang mengandaikan seorang novelis mewawancarai si tokoh utama, lalu si tokoh bercerita tentang pengalaman hidupnya.
Di sini pun begitu. Kita bertemu seorang bekas penerbang tua yang tinggal di tepi perumahan kas pinggiran kota yang seragam. Rumahnya nyentrik bergaya mirip kastil yang dipenuhi pepohonan dan burung-burung.
Suatu hari ia kedatangan tetangga baru, seorang ibu dan anak perempuannya. Si ibu ingin anaknya masuk sekolah elite tak jauh dari rumah yang baru ditinggalinya. Demi mencapai tujuan itu, ia membuat program rencana harian di sebuah papan dinding rumah agar si anak bisa lulus ujian masuk sekolah elite itu. Jadwal itu dibuat begitu rinci, dari bangun tidur sampai tidur lagi.
Kegiatan itu tak termasuk bersosialisasi atau berteman. Namun, dapat ditebak bocah perempuan itu lalu tak dapat menahan godaan berinteraksi dengan si penerbang tua. Ia pun melupakan jadwal harian yang disusun ibunya.
Dari si penerbang, si bocah mendapati sebuah cerita yang memikatnya: tentang pangeran cilik yang terdampar di gurun pasir dan bertemu si penerbang ketika muda.
Di sini, bagian isi novel diceritakan ulang oleh si penerbang tua pada si bocah. Lewat animasi model stop motion yang mirip kertas yang mengadaptasi ilustrasi-ilustrasi dari buku aslinya.
Oleh karena itu, The Little Prince versi layar lebar ini bukan adaptasi murni novel klasiknya. Kisahnya melebar jadi tentang si narator novel bersahabat dengan seorang bocah perempuan.
Meski kisahnya melebar dari novelnya, sang sineas tak mengkhianati pesan utama novelnya. Dengan gaya animasi, kita bahkan diajak bertemu dengan si Pangeran Cilik di usia dewasa, melihat keadaannya kini. Masihkah jiwa kanak-kanaknya tersisa kini?
Pertanyaan itu tak hanya patut ditanyakan pada para tokoh di film The Little Prince, tetapi terutama pula, bagi kita, penonton dewasa.** (Ade/Feb)**
Advertisement